Laman

Sabtu, 04 Juni 2011

Uang Panai dan Jebakan Gaya Hidup Konsumtif

Tradisi pernikahan pada setiap daerah di Indonesia selalu menjadi hal yang menarik untuk dibahas, tidak hanya dari latar belakang budaya pernikahan, akan tetapi dari segi kompleksitas pernikahan itu sendiri. Pada sebuah pernikahan, terdapat nilai-nilai yang menjadi pertimbangan, seperti status sosial, ekonomi, dan nilai-nilai budaya dari masing-masing keluarga laki-laki dan perempuan. Demikian halnya di Sulawesi Selatan, dalam proses pernikahan dikenal adanya istilah uang naik atau uang panai sebagai prasyarat utama dalam melangsungkan pernikahan.

Beberapa hari yang lalu, ibu saya menghadiri acara lamaran sepupu laki-laki saya. Sejak mendengar kabar pernikahan sepupu saya ini, saya menjadi penasaran berapa banyak nominal uang panai yang akan diajukan oleh pihak keluarga perempuan. Maka tak pelak lagi, saya bertanya pada ibu saya perihal nominal uang panai yang diminta pihak perempuan. Betapa terkejutnya saya, ketika mendengar jumlah nominal yang disebutkan ibu saya. Bahkan prediksi saya sendiri ternyata jauh melebihi nominal yang ibu saya sebutkan. Hebatnya lagi, keluarga besar saya pun menyanggupi jumlah tersebut.

Besar kecilnya nominal uang panai akan semakin menarik jika dapat dilihat dari refleksi budaya masyarakat modern yang sedang berjalan saat ini. Karakter dari budaya masyarakat modern selalu diikuti dengan adanya konstruksi tanda dan simbolisasi makna. Tingginya nominal uang panai sebagai simbolisasi kedudukan juga nampak pada fenomena sosial budaya masyarakat kontemporer di kota Makassar.


Tradisi
Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun temurun. Tradisi dipengaruhi oleh adanya kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan. Hal yang paling mendasar dalam sebuah tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan.

Bagi masyarakat Bugis-Makassar, pernikahan bukan sekedar mempertemukan hubungan dua insan dalam satu mahligai rumah tangga, akan tetapi lebih dari pada itu, pernikahan adalah momen mempertemukan dua keluarga besar dengan segala identitas dan status sosial serta cara melestarikan garis silsilah dan posisi di tengah masyarakat. Sadar atau tidak, hal ini adalah warisan sistem feodal di masa silam yang jejak-jejaknya masih sangat bisa ditemukan pada masa kini, khususnya pada momentum pernikahan.

Menikah atau pernikahan dalam tradisi Bugis Makassar bukanlah sesuatu hal yang murah. Dalam tradisi tersebut, dikenal adanya istilah uang panai sebagai salah satu prasyarat utama di mana calon mempelai laki-laki memberikan sejumlah uang kepada calon mempelai perempuan yang akan digunakan untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan dan belanja pernikahan. Uang panai berbeda dengan mahar, kedudukannya sebagai uang adat yang terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh kedua pihak keluarga mempelai.

Pada kenyataannya, uang panai terkenal tidak sedikit jumlahnya. Tingkat strata sosial perempuan dan jenjang pendidikan umumnya menjadi standar dalam penentuan jumlah nominal uang panai. Uang puluhan juta atau bahkan sampai pada ratusan juta menjadi nominal yang lumrah, terlebih lagi jika calon mempelai perempuan adalah keturunan darah biru (keturunan dari kerajaan Tallo, Gowa, atau Bone) ataupun tingkat pendidikan calon mempelai perempuan adalah S1, S2, Kedokteran, PNS, dst, maka uang panai_nya akan berpuluh-puluh sampai beratus-ratus juta. Semakin tinggi nominal uang panai maka semakin tinggi pula citra diri keluarga mempelai di mata masyarakat.

Lalu bagaimana dengan golongan masyarakat kurang mampu yang juga hendak melangsungkan pernikahan dengan tuntutan uang panai yang terbilang tinggi? Tidak dapat dipungkiri bahwa pihak keluarga (saudara ayah atau ibu), memiliki pengaruh yang cukup penting dalam pengambilan keputusan mengenai besarnya uang panai. Tidak jarang, banyak lamaran yang akhirnya dibatalkan, karena tidak bertemunya keinginan dua pihak.

Bagi laki-laki Bugis Makassar, memenuhi prasyarat uang panai juga dianggap sebagai praktik budaya siri. Hal ini bisa saja terungkap ketika calon mempelai laki-laki tidak mampu memenuhi permintaan pihak keluarga perempuan dan menebus rasa malu tersebut dengan merantau dan kembali setelah punya uang yang disyaratkan. Namun ironisnya, langkah terakhir yang ditempuh bagi pasangan yang telah saling mencintai adalah ‘kawin lari (silariang), sebagai jalan pintas untuk tetap bersama.

Seiring perkembangan zaman, tradisi pernikahan masyarakat Bugis Makassar pun mulai bergeser. Pernikahan yang terjadi di desa dan di kota menampilkan perbedaan yang signifikan. Jika pesta pernikahan yang berlangsung di desa masih terkesan sederhana dan merakyat, maka tradisi pesta pernikahan di kota Makassar misalnya, akan berlangsung di gedung-gedung mewah, hotel berbitang lima, dan tidak jarang mendatangkan artis lokal atau ibu kota sebagai bentuk hiburan bagi para tamu undangan. Hal ini dengan sendirinya akan berpengaruh pula pada semakin besarnya nominal uang panai terlebih jika uang panai diumumkan ke muka publik saat akad nikah. Sebuah simbolisasi yang semakin vulgar. Semua hal tersebut merujuk pada kemampuan seseorang ataupun keluarga dan penegasan status sosial dalam masyarakat.

Bergesernya tradisi uang panai dalam masyarakat Bugis Makassar menjelaskan adanya perubahan pola pikir dan gaya hidup masyarakatnya. Pergeseran nilai-nilai budaya dalam masyarakat terjadi seiring pengaruh globalisasi dan hadirnya budaya lain (baca: modern). Pada era globalisasi telah terjadi perubahan-perubahan cepat dimana dunia menjadi transparan, jarak dan waktu seakan tanpa batas. Perubahan yang mendunia ini akan menyebabkan pergeseran nilai-nilai budaya, dari nilai yang kurang baik menjadi baik ataupun sebaliknya. Salah satu aspek yang bergeser dalam kehidupan masyarakat dewasa ini adalah sistem nilai budaya yang menjadi ciri khas dari suatu kelompok masyarakat. Dengan demikian, perubahan kebudayaan terjadi akibat adanya ketidak seimbangan diantara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda, sehingga memungkinkan terjadinya keadaan yang tidak sesuai fungsinya bagi kehidupan.


Masyarakat Konsumtif
Salah satu efek dari modernisasi adalah pergeseran nilai. Hal ini bisa ditemukan dari perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Ketika ditemukan unsur baru yang menarik, maka masyarakat pun dengan perlahan tapi pasti akan mengikut pada nilai tersebut. Fenomena yang paling jelas terlihat adalah pola gaya hidup yang glamor dan konsumtif. Menjamurnya entertainment complex serta hotel-hotel mewah nan megah di kota besar adalah variabel yang turut membantu menjelaskan apa yang menjadi penyebab terjadinya perubahan sosial budaya dan tradisi masyarakat perkotaan.

Pesta yang mewah di hotel-hotel berbintang, pola konsumsi yang berlebihan, serta gaya hidup glamor adalah ciri masyarakat modern. Masyarakat modern adalah masyarakat konsumtif, yaitu masyarakat yang terus menerus berkonsumsi. Akan tetapi, konsumsi yang dilakukan bukan lagi hanya sekedar kegiatan yang berasal dari produksi. Konsumsi tidak lagi sekedar kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dan fungsional manusia. Konsumsi telah menjadi budaya, budaya konsumsi. Seiring hadirnya budaya konsumsi, maka dengan serta merta, sistem masyarakat pun telah berubah menjadi masyarakat konsumerisme. Konsumerisme dalam sejumlah literatture dimaknai ganda. Pertama, melihat konsumerisme sebagai gerakan atau kebijakan untuk melindungi konsumen dengan metode dan standar kerja produsen, penjualan, dan pengiklanan. Kedua melihat konsumerisme sebagai paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan dan kesenangan, selain sebagai sebuah prestise.

Baudrillard mengungkapkan bagaimana terbentuknya ‘masyarakat konsumen’. Komunitas masyarakat konsumen adalah masyarakat yang secara tak sadar telah menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivias atas kehidupan masyarakat dengan hasrat yang kuat akan materi, dan selalu ingin belanja. Menurutnya, dalam masyarakat konsumsi persepsi terhadap barang (komuditi) telah berubah dari sekedar kebutuhan yang memiliki nilai tukar dan nilai guna, berubah menjadi komoditas citra dan gengsi. Orang berbelanja selain karena ingin meraih kepuasan dan memenuhi kebutuhan, juga karena mengharapkan citra tersendiri karena telah memiliki barang[1]. Lebih lanjut, Baudrillard menjelaskan bahwa ketika kita mengonsumsi objek, maka kita juga mengonsumsi tanda, dan pada prosesnya kita mendefinisikan diri kita. Oleh sebab itu, kategori objek dipahami sebagai produksi kategori persona. “Melalui objek, setiap individu dan kelompok menemukan tempat masing-masing pada sebuah tatanan, semuanya berusaha mendorong tatanan ini berdasarkan garis pribadi. Melalui objek, masyarakat terstratifikasi agar setiap orang terus berada pada tempat tertentu”. Hal tersebut tentu saja memberikan penegasan bahwa masyarakat (tingkatan lebih luas) merupakan apa yang mereka konsumsi dan berbeda dari tipe masyarakat lain berdasarkan atas objek konsumsi[2] . Pola hidup glamor, budaya konsumtif yang berlebihan, sampai pada pesta pernikahan mewah di hotel-hotel berbintang, teridentifikasi sebagai pola kehidupan masyarakat modern di kota Makassar.

Kebutuhan akan gaya hidup mewah dan glamor dengan status dan kedudukan sosial dalam masyarakat di kota Makassar jelas berpengaruh pada besar kecilnya nominal uang panai yang diminta oleh keluarga dari calon mempelai perempuan. Keinginan untuk memenuhi uang panai yang disyaratkan tersebut juga terkait dengan teori kepuasan yang lebih didekatkan pada faktor-faktor kebutuhan konsumsi dan kepuasan individu. Tidak hanya itu, nilai-tanda dan nilai-simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup, kemewahan dan kehormatan adalah motif utama aktivitas konsumsi masyarakat konsumer.

Besar kecilnya nominal uang panai dalam suatu pernikahan tidak lagi menjadi sebuah tradisi pada umumnya, melainkan telah menjadi sebuah ajang tampilan gaya hidup mewah, prestise dan status sosial seseorang atau keluarga untuk mendapatkan nilai di mata masyarakat. Dalam masyarakat konsumer, konsumsi sebagai sistem pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan, namun oleh seperangkat hasrat untuk mendapatkan kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah mekanisme penandaan[3].

Untuk sebuah pesta pernikahan yang mewah dan glamor, maka nominal uang panai yang disyaratkan juga harus tinggi. Pada dasarnya, masyarakat menginginkan penilaian terhadap dirinya. Penilaian tersebut mencakup kebutuhan akan harga diri, kompetensi, penghargaan dari orang lain, prestise, kedudukan, pengakuan, martabat, dan nama baik. Pemenuhan jumlah nominal uang panai yang ditetapkan juga dianggap sebagai bentuk penghargaan yang dinilai pantas untuk kedudukan tersebut.

Masyarakat konsumer yang berkembang saat ini adalah masyarakat yang menjalankan logika sosial konsumsi di mana kegunaan dan pelayanan bukanlah motif terakhir dari tindakan konsumsi, melainkan lebih kepada produksi dan manipulasi penanda-penanda sosial. Individu menerima identitas mereka dalam hubungannya dengan orang lain, bukan dari siapa dan apa yang dilakukannya, namun dari tanda dan makna yang mereka konsumsi, miliki dan tampilkan dalam interaksi sosial. Mewahnya sebuah pesta pernikahan adalah cerminan tingginya kebutuhan konsumsi masyarakat dan tuntutan gaya hidup modern nan mewah. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan serta-merta akan berpengaruh pada besarnya nominal uang panai sebagai bentuk penanda-penanda sosial dalam masyarakat Bugis-Makassar yang bermukim di kota.

Menikahi perempuan Bugis-Makassar dikenal sangat mahal dengan nominal uang panai yang terbilang tidak sedikit jumlahnya. Acara-acara pernikahan tersebut menjadi tempat paling jelas mempertontonkan standar-standar baru bagi status sosial masyarakat Bugis-Makassar, di mana penentuan jumlah uang panai menjadi cerminan kedudukan yang dicapai oleh orang tua calon mempelai perempuan. Kondisi ini tak jarang pula melahirkan persepsi oleh sebagian orang di luar tradisi sebagai perilaku “menjual anak perempuan”. Bagi laki-laki dari daerah di luar Sulawesi yang tidak membutuhkan modal banyak untuk pernikahan, sangat wajar jika mempersepsikan uang panai sebagai harga seorang anak perempuan Makassar. Bagaimanapun, persepsi lahir dari gambaran yang bergantung dari pengalaman sebelumnya.

Ironisnya, masalah uang panai dalam masyarakat modern cenderung melahirkan penyakit masyarakat. Tidak jarang kita mendengar bagaimana sebuah keluarga menyebutkan uang panai hingga berpuluh-puluh juta atau bahkan ratusan juta rupiah, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Hal tersebut ditempuh oleh sebagian masyarakat sebagai jalan pintas untuk tetap menjaga citra di satu sisi, dan di sisi lain tidak hendak terbebani dengan biaya mahal tersebut. Penyakit masyarakat atau patologi sosial semacam ini muncul sebagai solusi dalam dinamika serta pergeseran tradisi sekaligus sebagai bentuk resistensi kultural atas tradisi yang terlanjur mengakar namun juga tidak ingin melepaskan diri dari tuntutan gaya hidup modern dan glamor hingga berdampak pada kesenjangan sosial.

Sumber terjadinya pergeseran tradisi uang panai dalam masyarakat modern disebabkan oleh faktor materil, yaitu teknologi. Akan tetapi, selain faktor materil terdapat juga fatkor non materil; nilai, ide, dan ideologi. Maksud nilai sebagai sebab yaitu merujuk pada hadirnya anggapan terhadap sesuatu yang pantas atau tidak pantas, ide merupakan pengetahuan dan kepercayaan, sedangkan ideologi merupakan serangkaian kepercayaan dan nilai yang digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi bentuk tindakan masyarakat.

Pada akhirnya, tradisi uang panai dalam masyarakat modern kota Makassar akan selalu menjadi sebuah ajang pengukuhan kedudukan dan gengsi semata. Tuntutan gaya hidup glamor dan modern menjadi pemicu yang kuat dalam penentuan besarnya jumlah uang panai. Disadari atau tidak, tidak hanya pihak keluarga calon mempelai perempuan yang akan ditinggikan derajatnya, akan tetapi keluarga calon mempelai laki-laki juga berhasil mempertegas kedudukannya dengan kemampuan memenuhi prasyarat uang panai yang jumlahnya tidak sedikit atau bahkan di atas kemampuan rata-ratanya. Hal yang menjadi pertanyaan besar kemudian adalah bagaimana seseorang laki-laki Bugis Makassar mempertahankan harga diri dengan jumlah nominal uang panai yang terbilang tidak sedikit, pilihan-pilihan yang hadir kemudian tak lain adalah bentuk-bentu pertahanan harga diri atau dikenal dengan istilah siri’.



[1] Dikutip dari: Jean Baudrillard. 2001. Galaksi Simulacra. Yogyakarta: LKIS, h. 4
[2] Baca juga George Ritzer. 2009. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana, h. 138.
[3] Jean Baudrillard, op.cit.