Laman

Jumat, 29 April 2011

Mengulas Pembacaan Mawar dan Penjara; sebuah kumpulan puisi Andhika Mappasomba

Seni pembacaan atau resepsi suatu karya sastra tak dinyanah dapat melahirkan berbagai tanggapan dan reaksi terhadap apa yang disugukan dalam sebuah karya sastra itu sendiri. Seorang pembaca karya sastra dengan serta merta dapat memilah kondisi dan ruang dalam sebuah kritik pembacaan terhadap karya yang dilahirkan.

Untuk memaknai sebuah teks sastra, maka terlebih dahulu haruslah dipahami tiga unsur pokok pembangun sebuah teks dalam karya sastra itu sendiri, ketiga unsur penting yang tak dapat dihilangkan adalah sisi pragmatik, di mana bahasa dipergunakan dalam suatu konteks sosial tertentu. Sisi sintaktik, yaitu sebuah teks harus memperlihatkan sebuah kebertautan satu sama lain. Dan terakhir adalah sisi kesatuan semantik, yang pada dasarnya menuntut tema global dalam sebuah teks yang melingkupi semua unsur.

Hal yang tak dapat dipisahkan pula terhadap sebuah pembacaan adalah konsep pembacaan itu sendiri. Seperti apa jenis pembaca sesungguhnya, serta pembaca hipotesis. Seorang pembaca yang sesungguhnya adalah pembaca yang muncul dalam pengkajian sejarah tanggapan, yakni ketika perhatian studi sastra dipusatkan pada cara karya sastra diterima oleh masyarakat pembaca khusus. Sedangkan pembaca hipotesis terkonstruksi dari pengetahuan sosial  dan historis suatu waktu, dan dapat diprediksi dari peran pembaca yang tersimpan di dalam teks.

Sebuah pencapaian terhadap pembacaan karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan apa yang disebut sebagai horison penerimaan, di mana menurut Segers bukan hanya berhubungan dengan aspek sastra dan estetika, tetapi juga berhubungan dengan hakikat yang ada di sekitar diri pembaca; tak lain adalah seks, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, dan agama. Ditambahkan pula oleh Jausz, bahwa horison penerimaan adalah tak lain hadir dari pengalaman pembaca, pengetahuan pembaca terhadap norma suatu genre, serta berbagai fungsi yang dikenal pembaca dalam suatu teks.

Fenomena yang terjadi dalam kumpulan puisi Mawar dan Penjara adalah sebuah interpretasi makna puitik yang hadir tanpa mengindahkan pilihan kata atau diksi dan bentuk-bentuk metafora yang ada di dalam setiap teks kumpulan puisi tersebut. Skema serta rangkaian-rangkaian peristiwa puitik dalam kumpulan puisi Mawar dan Penjara bertautan dalam implikasinya pada setiap teks yang lahir. Jika seorang pembaca mampu menangkap apa yang tersurat dalam setiap diksi dan metafora yang dihadirkan tentu dengan serta merta pula mampu memaknai segala rangkaian peristiwa puitik pengarangnya.

Eksistensi seorang Andhika Mappasomba dalam menyuguhkan teks-teksnya ke publik adalah sebuah pilihan besar yang tak biasa bagi sebagian pengarang. Tema-tema besar dan global yang diangkatnya mewakili pemaknaan teks-teks puitik terhadap implikasi sosial budaya masyarakat pembacanya. Apa yang dihadirkannya tak lain adalah segala bentuk peristiwa puitik yang membumi dalam kehidupannya. Menyaksikan sebuah kebertautan makna dalam teks-teks puisinya mengindikasi seperti apa latar kehidupan seorang Andhika Mappasomba yang coba disampaikannya ke publik dengan ranah estetik yang romantik namun tajam.

Sebuah pencapaian yang luar biasa hadir tatkala seorang pengarang mampu mengimplementasikan segala peristiwa hidupnya ke dalam bentuk dan skema puitik. Kumpulan puisi Mawar dan Penjara telah berhasil menampik pemaknaan terhadap pengarang yang mati setelah karyanya. Apa yang dihadirkan dalam kumpulan puisi Mawar dan Penjara tak lain adalah bentuk eksistensialis dan kebertahanan pengarangnya terhadap pilihan hidupnya yang melebur dalam sastra.

Sekali lagi Mawar dan Penjara berhasil memicu banyak persepsi yang hadir ke hadapan publik sebagai pembaca atau pula penikmat karya sastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar