Laman

Senin, 21 November 2011

masih tentang pagi yang lain

masih pagi, seharusnya sudah harus bersemangat, menikmati matahari pagi yang telah sejak sejam yang lalu membumbung di langit lepas. sudah seharusnya pula, aku berada di balkon rumah kostku membiarkan hangatnya menusuk pori-pori wajahku dan menyerap cahanyanya. bukan maksud menentang matahari, tapi cukup mengambil sedikit cahayanya.

pagi ini tampaknya lain. aku tak menemukan sensasi menikmati pagi seperti kemarin. mungkinkah karena semalam aku terlampau terlena dengan sebatang rokok yang kuhisap sembunyi-sembunyi di sudut kamarku? asap rokok itu benar-benar tak menyegarkanku, membuatku terbatuk seolah mereka berhasil menguasai paru-paruku. ahh apa jadinya jika aku benar-benar menjadi perokok? untuk yang satu ini tampaknya harus kuhilangkan, sebab aku tak menemukan sensasi yang bisa membuatku untuk terus-terusan menikmatinya. tak sedikit pun.

aku teringat satu hal, tentang seseorang yang dulu pernah mengajarkanku merokok. yah, ini bukan isapan pertamaku. dulu ketika berada di puncak gunung, dengan gigil yang menggertakkan seluruh persendianku. rasanya seperti berendam di tengah lautan es. tak membeku tapi tak juga mampu bergerak. akhirnya, ku putuskan untuk mengisap sebatang rokok bokormas yang dibelinya ketika kami masih berada di posko pertama. tetap tak kurasakan apa-apa. tak ada hangat yang mengalir bersama darahku. aku tetap terbatuk.

mungkinkah, aku akan di cap nakal jika aku merekok?  tidak, aku bukan orang yang seperti itu. bagiku, keputusan untuk mengisap sebatang racun ke tubuhku yang ku lakukan diam-diam di sudut kamarku semalam tak lain karena aku penasaran ingin mencoba rasanya. ingin membuktikan apakah aku akan semakin lancar menuliskan apa yang ada dalam kepalaku? hanya itu. alasan yang rasanya klise bagi hampir sebagian orang. aku juga tak dipengaruhi film "thankyou for smoking" yang justru diselamatkan dari kematian karena rokok.

perempuan perokok di zaman sekarang bukan lagi hal yang tabu. di sekelilingku sendiri aku tak jarang melihat anak-anak perempuan lihai menghembuskan asap membentuk bulatan-bulatan kecil serupa cincin dari mulut mereka. itu gaya hidup, tak merokok di jaman sekarang berarti tak keren [menurut anggapan sebagian orang]. tentulah slogan-slogan itu tertanam di benak mereka dengan kuat, sama kuatnya ketika tak memiliki ponsel berarti udik. freakish. aku tak ingin menyalahkan anak-anak ini.

sejak kecil mereka telah dijejali barang-barang instan, mewah dan penuh merek. orang tua tentu saja punya pengaruh besar dalam gaya hidup mereka. mereka masih anak-anak, tapi telah piawai membedakan keunggulan antara Gucci dan Nevada. seorang teman mulai mengeluhkan iklan-iklan di dinding facebooknya yang hampir penuh dengan promosi instan. mengiklankan cara mudah menjadi kaya di usia dini. berpenghasilan lebih layaknya pengusaha, atau tampil cantik dengan payudara penuh dan tubuh yang langsing. wajah yang putih. serupa bintang-bintang iklan di produk-produk mereka.

aaahhhh.... rupanya aku mulai nakal melihat sekelilingku. tidak, aku belum benar-benar menjadi nakal meski aku sebenarnya mengharapkan diriku bisa lebih nakal dari ini. tapi tidak... aku sendiri dijejali merek meski tak sebranded barang-barang mewah, atau tak kecanduan iklan cantik dan hendak merubah diriku serupa bintang-bintang iklan itu. ouh... tampaknya akan sangat sesuai jika ku katakan, bahkan aku sendiri pun yang sedikit punya pendirian akan pilihan gaya hidup yang pantas untuk usiaku, aku juga tak lepas dari merek dan barang-barang kapitalis ini. munafikkah aku? rasanya tidak... aku menggunakan barang-barang mereka untuk kembali mengkritik mereka atau bahkan sampai pada menyatakan perang  [meski belum perang yang sebenar-benarnya perang] dengan mereka. inikah negosiasinya? ku pikir bukan. lalu yang kulakukan ini akan ku sebut apa? entahlah, aku belum yakin menamainya apa, mungkin pulalah aku yang keliru menerjemahkan tanda-tanda dari mereka.

ouhhh...ini sudah terlampau ngawur, seharusnya pagi ini hanya ingin menikmatinya lagi. benar-benar menikmati pagi.... dan menyampaikan penyesalanku pada matahari sebab terlambat aku menyambut cahayanya.

Minggu, 20 November 2011

Hanya Ingin Menikmati Pagi

pagi telah meranggas pelan-pelan. matahari seperti hari-hari sebelumnya di setiap pagi akan muncul dari balik rumah bergenteng coklat lusuh itu, senada dengan warna kusen di jendelanya. rumah itu tak menghadap ke barat, tapi mungkin ke timur atau  malah ke selatan, dan tak mungkin menghadap ke utara sebab persis di bagian itu berdiri dinding yang melekat kuat. tak ada sekat. begitu rapat melekat. aku sendiri justru lebih senang membayangkannya menghadap ke timur. 

jika memang apa yang kukira benar. maka, setiap pagi pastilah rumah itu akan penuh cahaya, hingga menembus ke celah-celah terkecil di dalamnya. mungkinlah rumah itu berjendela banyak dan rerumputan hijau di sekeliling halamannya meranggas serupa pagi yang datang pelan-pelan. aahhh... aku suka rerumputan yang meranggas pelan-pelan lalu menyebar membentuk padang rumput. terkadang aku membayangkan diriku berada di rerumputan menengadah ke langit. membiarkan ujung-ujungnya menusuk tubuhku. lalu ketika hujan mulai menghujam bumi akan kurasakan mereka menyerap tetesan-tetesan kecil yang hinggap di tubuhku. membawanya ke dasar tanah yang begitu dalam lalu membaginya dengan penghuni bumi yang lain.

sudah sejak dulu, aku senang membayangkan diriku menghuni rumah itu. bangunannya yang sederhana dengan genteng-genteng lusuh kecoklatan. aku senang rumah dengan jendela yang memenuhi dinding-dindingnya lalu membiarkannya terbuka sebelum aurora benar-benar berpendar ke seantero langit, agar rumahku menjadi yang pertama disinarinya hingga ke celah-celah terkecil di dalamnya. lalu setiap pagi aku akan merelakan tubuhku basah oleh embun yang sejak dini hari mulai setia bersama rerumputan. membiarkannya menyerap hingga ke sela-sela kain dibajuku. aku hanya ingin menikmati pagi. menikmatkan tubuhku menyerap kehidupan pagi. sebelum semuanya benar-benar menghilang, membumbung ke angkasa yang akan sulit ku jangkau. meski sejenak, tapi begitu lama rasanya aku menunggu malam menggantikan pagi. sungguh memanglah teramat ku cintai pagi serupa cintaku pada hujan.

matahari menggantung persis di sisi kanan genteng rumah itu, hingga berbentuk bulatan yang kehilangan seperempat dari bagiannya. sekilas awan tipis berwarna gelap melintas perlahan meredupkan cahayanya yang sedari tadi menghangat di wajahku. semuanya serba perlahan. sangat lambat, hingga mampu ku rasakan cahaya-cahaya itu beranjak meninggalkan jejak di wajahku. aahhh, awan tipis itu menghitam. mungkinkah ia sedang membawa kabar buruk untuk seseorang? dan tak sanggup menyampaikannya. mungkinkah kabar itu tentang kesedihan sepasang kekasih yang tak kuat  menahan rindu? ah, awan tipis itu sepertinya sedang tak ingin bermain-main dengan pemilik cahaya yang dilintasinya. ia harus segera menyampaikan kabar sedih yang menyuramkan warnanya. putih.

matahari tak lagi terlihat kehilangan seperempat bagiannya. ia telah membulat serupa bulatnya pupil mata manusia. awan tipis itu pun telah beranjak menjauh. langit serupa kertas merah jingga yang begitu luas. pagi ini tentulah tak sama dengan pagi yang kemarin. bagi sepasang kekasih yang menanti kabar dari awan tipis tadi tentulah tak akan sama. kabar kesedihan yang diterimanya dari awan di pagi hari mungkin saja akan menyuramkan dunianya, serupa suramnya warna kesedihan sang pembawa kabar. gelap menggantung di setiap celahnya yang sebenarnya putih. semoga saja awan itu tak berbalik ke arahku, tak menyampaikan kabar kesedihannya untukku. sebab aku sendiri pun tengah menanti kabar dari seorang di seberang lautan sana. kemarin aku menyuratkan rindu melalui malam, mungkinkah ia akan segera membalasnya lewat awan? ahh semoga tidak... aku lebih senang ia membalas surat-surat rinduku lewat matahari pagi yang cerah, yang cahanyanya menghangat di wajahku hingga ke celah-celah hatiku. aku hanya ingin menikmati pagi, serupa menikmati balasan rinduku darinya.

Sabtu, 19 November 2011

GILA

hari ini, hari sabtu, tapi aku masih membenamkan diri di perpustakaan sibuk dengan setumpuk buku dan tulisan-tulisan orang lain [berkutat dengan teori-teori]. tidak, aku sedang tidak mengerjakan tugas kuliah yang bisa ku tunda kapan saja. ini lebih dari sekedar tugas, yang jika ku tunda-tunda lagi rasanya akan sangat berat untuk dapat memulainya kembali sementara waktu tak lagi bisa ku ajak kompromi. meski pada dasarnya Ibu-Bapakku tak begitu memberatkanku  untuk sesegera mungkin menuntaskan apa yang telah berani ku mulai, tapi rasanya akan sangat malu jika tak mampu ku tuntaskan apa yang telah ku pilih. bukan malu pada mereka ataupun orang lain. aku malu pada diriku sendiri.

sebenarnya jika menuruti hasrat lahiriahku, rasanya aku ingin saja meninggalkan segala hal yang mulai terasa membosankan ini. hidup dengan rutinitas yang itu-itu saja belakangan ini menjadikanku orang yang berbeda. rasanya aku menjadi bukan diriku. aku tak menemukan diriku yang dulu yang tak pernah berlama-lama pada keadaan. menyadari keanehan ini, aku semakin sering mendapat teguran dari diriku sendiri. tak jarang ku dapati diriku sedang beradu mulut dengan bayanganku sendiri. suaranya sangat lantang. aku seperti mendengar dua orang yang berbeda penapat. apa aku sudah gila? aaahhh entahlah, yang jelas aku sedang dilanda sindrom aneh yang aku sendiri tak tahu mau menyebutnya apa.

atau mungkin pada dasarnya aku memang berpeluang menjadi gila. aku tak yakin juga.... selama ini jika suara-suara itu yang ternyata keluar dari mulutku sendiri mulai lantang ku dengar, aku akan langsung bergegas membuka laptop lalu mulai menulis, menyambungkan rangkaian-rangkaian kata untuk menggemukkan isi tulisanku ini.

terlepas dari apa yang sedang melandaku saat ini, cikal bakal kegilaankah ataukah sisi terpendam dalam diriku yang baru hendak menampakkan keberadaannya padaku. aku ingin sesegera mungkin menyelesaikan semuanya lalu kembali ke kampung halamanku... meski akan menjadi gila, tapi akan lebih menenangkan berada dekat dengan orang yang ku cintai. 

Bella swan dalam Twilight memilih mati di pelukan kekasihnya, maka aku jika sebelum mati akan mengalami kegilaan ini pun akan memilih kesakitan ini dalam genggaman tangan kekasihku...