Laman

Minggu, 20 November 2011

Hanya Ingin Menikmati Pagi

pagi telah meranggas pelan-pelan. matahari seperti hari-hari sebelumnya di setiap pagi akan muncul dari balik rumah bergenteng coklat lusuh itu, senada dengan warna kusen di jendelanya. rumah itu tak menghadap ke barat, tapi mungkin ke timur atau  malah ke selatan, dan tak mungkin menghadap ke utara sebab persis di bagian itu berdiri dinding yang melekat kuat. tak ada sekat. begitu rapat melekat. aku sendiri justru lebih senang membayangkannya menghadap ke timur. 

jika memang apa yang kukira benar. maka, setiap pagi pastilah rumah itu akan penuh cahaya, hingga menembus ke celah-celah terkecil di dalamnya. mungkinlah rumah itu berjendela banyak dan rerumputan hijau di sekeliling halamannya meranggas serupa pagi yang datang pelan-pelan. aahhh... aku suka rerumputan yang meranggas pelan-pelan lalu menyebar membentuk padang rumput. terkadang aku membayangkan diriku berada di rerumputan menengadah ke langit. membiarkan ujung-ujungnya menusuk tubuhku. lalu ketika hujan mulai menghujam bumi akan kurasakan mereka menyerap tetesan-tetesan kecil yang hinggap di tubuhku. membawanya ke dasar tanah yang begitu dalam lalu membaginya dengan penghuni bumi yang lain.

sudah sejak dulu, aku senang membayangkan diriku menghuni rumah itu. bangunannya yang sederhana dengan genteng-genteng lusuh kecoklatan. aku senang rumah dengan jendela yang memenuhi dinding-dindingnya lalu membiarkannya terbuka sebelum aurora benar-benar berpendar ke seantero langit, agar rumahku menjadi yang pertama disinarinya hingga ke celah-celah terkecil di dalamnya. lalu setiap pagi aku akan merelakan tubuhku basah oleh embun yang sejak dini hari mulai setia bersama rerumputan. membiarkannya menyerap hingga ke sela-sela kain dibajuku. aku hanya ingin menikmati pagi. menikmatkan tubuhku menyerap kehidupan pagi. sebelum semuanya benar-benar menghilang, membumbung ke angkasa yang akan sulit ku jangkau. meski sejenak, tapi begitu lama rasanya aku menunggu malam menggantikan pagi. sungguh memanglah teramat ku cintai pagi serupa cintaku pada hujan.

matahari menggantung persis di sisi kanan genteng rumah itu, hingga berbentuk bulatan yang kehilangan seperempat dari bagiannya. sekilas awan tipis berwarna gelap melintas perlahan meredupkan cahayanya yang sedari tadi menghangat di wajahku. semuanya serba perlahan. sangat lambat, hingga mampu ku rasakan cahaya-cahaya itu beranjak meninggalkan jejak di wajahku. aahhh, awan tipis itu menghitam. mungkinkah ia sedang membawa kabar buruk untuk seseorang? dan tak sanggup menyampaikannya. mungkinkah kabar itu tentang kesedihan sepasang kekasih yang tak kuat  menahan rindu? ah, awan tipis itu sepertinya sedang tak ingin bermain-main dengan pemilik cahaya yang dilintasinya. ia harus segera menyampaikan kabar sedih yang menyuramkan warnanya. putih.

matahari tak lagi terlihat kehilangan seperempat bagiannya. ia telah membulat serupa bulatnya pupil mata manusia. awan tipis itu pun telah beranjak menjauh. langit serupa kertas merah jingga yang begitu luas. pagi ini tentulah tak sama dengan pagi yang kemarin. bagi sepasang kekasih yang menanti kabar dari awan tipis tadi tentulah tak akan sama. kabar kesedihan yang diterimanya dari awan di pagi hari mungkin saja akan menyuramkan dunianya, serupa suramnya warna kesedihan sang pembawa kabar. gelap menggantung di setiap celahnya yang sebenarnya putih. semoga saja awan itu tak berbalik ke arahku, tak menyampaikan kabar kesedihannya untukku. sebab aku sendiri pun tengah menanti kabar dari seorang di seberang lautan sana. kemarin aku menyuratkan rindu melalui malam, mungkinkah ia akan segera membalasnya lewat awan? ahh semoga tidak... aku lebih senang ia membalas surat-surat rinduku lewat matahari pagi yang cerah, yang cahanyanya menghangat di wajahku hingga ke celah-celah hatiku. aku hanya ingin menikmati pagi, serupa menikmati balasan rinduku darinya.

1 komentar:

  1. kabari kami kalau ada postingan barunya ya kakak LaiLatul Qadriani..

    he he he

    Salam Hujan

    BalasHapus