Kondisi realitas yang semakin berkembang pada masa ini, adalah sebagai sebuah bentuk pola pikir yang semakin meluas dan bebas. Budaya hari ini semakin menampakkan perkembangannya, terlebih pada era yang serba maju atau yang lebih sering dikenal dengan era globalisasi. Budaya konsumerisme dan masyarakat hedonisme pun semakin tak terelakkan. Iklan-iklan berpacu untuk menarik perhatian masyarakat. Tidak jarang kemudian, iklan terselip di mana-mana, media cetak, elektronik, hingga di pinggir jalan. Masyarakat yang telah sejak awal dikonstruksi oleh pikiran konsumerisme mudah sekali tergoda oleh tampilan berbagai iklan itu.
Perkembangan berikutnya adalah dimulainya budaya politik tubuh. Perempuan, biasanya, dijadikan sebagai ’alat’ penarik perhatian. Dari sana muncul juga konsep kecantikan yang “dimatematikakan”, yaitu pola atau ukuran-ukuran kemolekan tubuh. Masyarakat pun mudah sekali tergoda oleh apa yang disajikan iklan, terutama bila bintang iklannya memiliki standar kecantikan yang terbangun dalam masyarakat.
Konstruksi pemikiran yang semacam itu semakin memberikan penegasan akan adanya unsur-unsur kepentingan dengan nuansa politik yang melingkupi tuntutan hidup kaum perempuan di zaman ini. Sadar atau tidak sadar, tuntutan untuk selalu tampil cantik dan menarik di depan publik memberikan banyak pengaruh pada segala sektor, utamanya perekonomian.
Tubuh Sosial dan Tubuh Fisik
Foucault memberikan gambaran akan adanya pengaturan politik tubuh melalui tubuh fisik. Menurutnya akar kekuasaan berada pada kekuasaan atas tubuh dan menjadi berkembang di dalam setiap aktivitas mikrofisika pada setiap institusi dalam politik tubuh. Menurutnya, masyarakat pada setiap esensinya bersifat disipliner. Momen historis disiplin adalah momen ketika seni tentang tubuh manusia lahir hingga terbentuk sebuah kebijakan pemaksaan atas tubuh, sebuah manipulasi yang telah diperhitungkan atas elemen-elemen, tingkah laku dan sikap-sikap tubuh.
Tubuh-tubuh yang ditawarkan oleh media adalah tak lain dari tubuh-tubuh yang telah dibentuk sedemikian rupa untuk mewakili gambaran kecantikan, dan tubuh perempuan sebagai bahan empuk untuk dijadikan sebagai penggambaran atau yang dianggap mampu mewakili bentukan-bentukan tubuh yang telah dikonstruksi oleh media sebelumnya. Kita tidak bisa memungkiri bahwa, pasar mendikte kita tentang sebuah ukuran kecantikan dan media memandang hal ini sebagai sebuah peluang besar. Banyak masyarakat beranggapan bahwa dengan cantik dan bertubuh kurus, seorang perempuan akan terlihat menarik dan lebih percaya diri.
Tubuh terekonstruksi secara sosial oleh masyarakat dengan bermacam cara. Masyarakat dalam hal ini dibagi menjadi beberapa populasi yang berbeda-beda. Tubuh bukan hanya telah ada secara alamiah, akan tetapi juga telah menjadi sebuah kategori sosial dengan makna yang berbeda-beda yang telah dihasilkan dan dikembangkan oleh zaman. Tubuh juga mempunyai kekuatan untuk menyerap makna, yang juga tak bisa dihindari sarat dengan nuansa politis.
Semakin mendalamnya makna sosial akan ukuran kecantikan pada umumnya tidak hanya mempengaruhi persepsi tubuh secara umum, akan tetapi juga merambah pada bagian-bagian tubuh itu sendiri, seperti halnya pada wajah. Pencitraan kesempurnaan terhadap mata, hidung, bibir, dan dagu merekonstruksi pikiran-pikiran manusia utamanya perempuan sebagai objek kecantikan itu sendiri. Seorang artis misalnya, yang dianggap sebagai public figur harus selalu tampil sempurna dan menarik, bahkan mereka tidak segan-segan untuk melakukan bedah pelastik sekedar menyempurnakan apa yang mereka anggap kurang di tubuhnya. Ukuran kelebihan tidak terlepas dari persepsi-persepsi yang telah tumbuh sejak jaman kolonial. Selain itu, semakin meningkatnya kebutuhan perempuan akan kosmetik dan alat-alat rias adalah sebagai sebuah bukti bahwa perempuan pada khususnya memang dituntut untuk tampil estetik dan cantik demi sebuah penampilan diri secara fisik sebagai tuntutan pada fenomena sosial yang sedang tren. Pengaruh dari tuntutan tampil cantik hampir mempengaruhi semua sektor perekonomian, baik itu di bidang industri pakaian, penataan rambut, bedah plastik, makanan, fitnes, dan tentu saja tidak terlepas pada industri media dan periklanan.
Masyarakat membangun citra terhadap perempuan-perempuan yang cantik dan jelek. Standar kecantikan seorang perempuan dengan tampilan tubuh yang kurus, kaki yang jenjang dan rambut yang lurus serta kulit yang putih akan melahirkan kesan lebih lembut, baik hati, sensitif, menyenangkan, cerdas dan berjiwa sosial jika dibandingkan dengan mereka yang dinilai jelek oleh masyarakat dengan tampilan tubuh yang gemuk, berkulit hitam dan postur tubuh yang pendek. Hal ini justru membuktikan bahwa pengaruh dari sebuah penampilan fisik sangat dominan, semakin seseorang tidak menarik semakin besar kemungkinannya ia dinilai memiliki keanehan dan sakit atau bahkan sampai pada persepsi gangguan mental.
Diskriminasi estetik sejajar dengan diskriminasi gender, kelas dan ras, yang menyebar begitu luas dan secara tidak sadar telah menjadi sebuah norma budaya yang diterima begitu saja seolah hal tersebut lumrah adanya. Mitos kecantikan yang tak nampak secara kasat mata telah berpengaruh pada banyaknya investasi waktu, energi, uang, dan penderitaan dalam tuntutan akan sebuah kecantikan. Perempuan lebih mementingkan kecantinkan dibanding laki-laki. Mereka yang tidak puas dengan berat badan misalnya bisa saja melakuakan operasi sedot lemak yang sekarang ini semakin marak di kalangan masyarakat hedonis hingga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut akhirnya menjadikan mereka sebagai masyarakat konsumerisme.
Begitu banyaknya aturan dan syarat-syarat untuk menjadi cantik oleh kaum perempuan secara tidak sadar menjadikan mereka merasa perlu memenuhi kebutuhan akan tuntutan-tuntutannya yang lebih dianggap sebagai sebuah kebutuhan utama untuk dapat tampil di depan publik secara lebih menarik dan estetik. Sebuah bentukan persepsi yang lahir dari kolonialisme. Sehingga ketika perempuan memilih untuk bekerja di luar rumah atau sebagai seorang wanita karir, maka pada saat yang sama pula industri diet, pelangsing tubuh, dan perawatan kulit melingkupi perempuan, tidak hanya itu, industri mode juga menampilkan para model dengan tubuh yang amat kurus. Perempuan muda adalah yang cantik dan atraktif seperti yang ditawarkan industri perawatan kulit dan dengan serta-merta menyisihkan perempuan-perempuan yang berusia lanjut sebagai hal yang alamiah dan membuat mereka sebagai sosok yang bijaksana.
Tubuh Perempuan dalam Sastra
Jika dikaitkan dengan perkembangan kebudayaan, maka akan sangat jelas terlihat bagaimana
masyarakat menjadi sangat dipengaruhi oleh mistik kecantikan itu sendiri. Hal ini juga terjadi dalam kesusastraan Indonesia modern. Maka lahir karya-karya yang lebih banyak menggambarkan tentang perempuan dan tubuhnya.
Perempuan telah dikonstruksi oleh berbagai macam mitos yang menganggap bahwa perempuan adalah yang derajatnya lebih rendah dari laki-laki. Lebih lanjut Gadis Arifia dalam sebuah tulisannya pada jurnal perempuan menjelaskan bahwa kedudukan penulis perempuan memang sulit. Para penulis perempuan seperti perempuan-perempuan pada umumnya telah dikonstruksi di dalam masyarakat sebagai yang ”lain” atau memiliki jenis kelamin yang ”kedua” (bukan yang diunggulkan), jenis kelamin ini telah dilabelkan lemah, tidak bisa dipercaya, perlu dilindungi, tidak mandiri, dan sebagainya. Perempuan selalu berada pada dunia kedua setelah laki-laki.
Dari tradisi Balai Pustaka hingga angkatan 80-an (yang sangat jelas bahwa tradisi ini merupakan bentukan kolonial), karya sastra lebih banyak didominasi oleh pengarang laki-laki. Dan tubuh perempuan dalam perspektif laki-laki, jelas berbeda dengan tubuh perempuan yang digambarkan oleh pengarang perempuan. Perempuan dalam karya laki-laki, cenderung sopan, manis, tunduk pada laki-laki, seseorang yang dituntut menjadi ibu rumah- tangga yang baik, namun sering pula digambarkan sebagai seseorang yang selalu menggoda kaum laki-laki. Sebuah penggambaran akan hal negatif tentang perempuan itu sendiri sebagai seorang penggoda.
Sementara itu, katakan saja pada masa Ayu Utami, dkk (angkatan 2000-an) yang juga sebagai pencetus lahirnya sastra wangi, perempuan dalam karya sastra muncul lebih terbuka membicarakan tubuh dan pikirannya sendiri. Karya-karya penulis perempuan seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan Dinar Rahayu misalnya, secara gamblang menggambarkan perempuan sebagai kaum yang juga memiliki kebebasan, yang tidak harus terpaku pada aturan rumah tangga sebagai seorang yang harus selalu berada di bawah laki-laki, perempuan yang selalu dicitrakan menjadi orang-orang kedua setelah laki-laki.
Dampak dari kolonialisme tidak hanya pada sikap yang serba materialistik. Akan tetapi juga mulai menyebar pada hal-hal yang immaterial. Penjajahan tidak hanya terjadi pada bentuk fisik yang terlihat secara nyata, tapi juga pada penjajahan mental dan pikiran yang diwujudkan pada peguasaan identitas dan penamaan kaum yang terjajah baik di dalam sisi-sisi budaya sosial yang dibentuk sesuai dengan kepentingan kolonialisme yang secara sistematis diselipkan melalui pendidikan, sistem sosial, agama, kesenian, bahkan sampai pada gender, tradisi, seksualitas, dll.
Novel Saman karya Ayu Utami dengan sangat lugasnya menggambarkan tentang cinta dan seks, namun juga tak melepaskan diri dari penggambaran politik dan agama yang dilakoni oleh setiap tokohnya dengan sangat luwes dan bebas. Ayu sama sekali tidak mengikatkan diri pada aturan-aturan sosial yang ada. Setiap tokoh perempuan dalam novel ini sangat jelas menampakkan eksistensinya sebagai seorang perempuan yang bebas dan merdeka. Seperti halnya ia menggambarkan tokoh Shakuntala secara amat sangat bebas dan terus terang.
Poskolonial memandang hal ini sebagai sebuah bentuk persoalan-persoalan dasar seperti tradisi, relasi kuasa, gender, hingga kaum yang minoritas. Tokoh shakuntala yang berhadapan dengan keluarganya dapat dianalogikan sebagai seseorang yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan ayah dan kakak-perempuannya. Secara umum tokoh Shakuntala ini dianalogikan pula sebagai seseorang yang mewakili gambaran perempuan yang dikuasai oleh adat dan keluarganya sendiri.
Perempuan juga hadir di ruang-ruang publik yang justru tidak memerdekakannya, sehingga ia akan merasa mendapatkan kemerdekaannya ketika perempuan membebaskan dirinya dari keterkungkungan yang membelenggunya. Membebaskan diri dari segala beban dengan bebas dan leluasa. Perempuan telah harus menjadi dirinya sendiri, baik ketika ia berada di ruang pribadi masing-masing, maupun berada di ruang publik dan lingkungan sosial.
Tak jauh berbeda dengan Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu juga banyak menampilkan penggambaran tokohnya sebagai seorang perempuan yang liar, yang tidak meluluh terpaku pada aturan-aturan adat dan norma-norma kesopanan yang setiap saat harus dilakoni seorang perempuan. Djenar selalu menampakkan bahwa setiap perempuan juga seorang pribadi yang bebas dan merdeka. Pada kumpulan cerpennya sendiri, ia banyak melukiskan watak perempuan yang merdeka dan memerdekakan dirinya, Jangan Main-Main dengan Kelaminmu, adalah salah satu karya Djenar yang dengan jelas dan lugas memaparkan kebebasan tubuh dan diri perempuan.
Djenar dengan sangat terbuka mengilustrasikan kebebasannya dalam berimajinasi. Djenar tidak lagi merasa tabu untuk menampilkan kebebasannya dari segala arah. Ia tidak lagi memerlukan aturan-aturan kesopanan dalam menggambarkan segala yang ada di fikirannya. Perempuan yang merdeka dari segala fikiran dan kehidupan sosialnya.
Sejalan dengan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu juga secara spontanitas memaparkan gambaran tokoh-tokoh perempuan dalam salah satu novelnya Ode untuk Leopold Von Sacher-Masoch. Novel ini sendiri menggambarkan pengalaman-pengalaman manusia yang menunjukkan perilaku seksual seperti Sadomasochisme, pengabdian seksual, inses, dan transeksual. Dalam novel ini perempuan digambarkan sebagai monster yang kejam, ingin mendominasi, pemerkosaan serta penyiksaan sesuai dengan fantasi seksual yang liar oleh pelakunya.Tak ada kata yang tabu dan penggambaran yang secara jujur dikemukakan oleh Dinar. Seorang perempuan yang tidak lagi terikat pada aturan kesopanan yang berlaku. Bagaimana Dinar mengungkapkan secara gamblang tentang penggambarannya akan erotisme laki-laki dan perempuan.
Dari beberapa penggambaran tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra yang diwakili oleh Ayu Utami, dkk. Jelas terlihat, bahwa ada misi yang diusung oleh para pengarang perempuan ini. Mereka tidak berjuang secara nyata layaknya melawan seorang penjajah di masa peperangan terjadi ataupun dengan berkoar-koar menghujat kaum lelaki. Para penulis perempuan ini justru melakukan hal yang amat sangat luar biasa, yaitu melawan keterkungkungan dan perbedaan-perbedaan yang ada dengan memunculkan diri sebagai perempuan yang mempunyai karya. Menampilkan diri sebagai seseorang yang memiliki eksistensi dalam lingkungan sosial. Perempuan tidak hanya meluluh selalu menjadi orang yang kesekian kalinya setelah laki-laki. Penulis-penulis perempuan menjadikan isu ini sebagai suatu bentuk pembelaan serta menegaskan akan eksistensi kaum perempuan itu sendiri.
Menjamurnya karya sastra perempuan menjadi sebuah bentuk perhatian baru oleh masyarakat akan kehadiran kaum perempuan di tengah-tengah masyarakat. Dari beberapa karya-karya penulis perempuan ini pula jelas bahwa mereka hendak membongkar keterkungkungan yang dibentuk oleh kaum-kaum borjuis. Ayu Utami, dan Djenar Maesa Ayu sebagai perempuan-perempuan yang berada pada kelas menengah banyak mengetengahkan karya-karyanya pada permasalahan perempuan-perempuan kelas menengah itu sendiri. Maka tak salah jika dikatakan bahwa mereka mengkritisi apa yang terjadi pada kelas mereka sendiri, kelas-kelas borjuis. Membongkar hal-hal yang selalu dianggap tabu untuk diperbincangkan, dan karya sastra hendaknya menjadi jembatan yang secara jujur menjadi penghubung antara lingkungan dan masyarakatnya.
Ironisnya, pada sisi yang lain, ketika perempuan mulai maju dan menunjukkan eksistensinya di hadapan masyarakat utamanya dalam karya sastra, beberapa pengarang perempuan, semisal Ayu Utami sendiri masih juga terjebak pada ukuran kecantikan yang dibentuk oleh kolonial sejak dulu. Dalam karya-karyanya yang lugas dan berani Ayu Utami masih tetap saja menggunakan ukuran kecantikan pada umumnya, dengan badan yang tinggi langsing dan kulit yang putih menjadi penggambaran umum seorang perempuan. Ayu masih sangat jarang menggambarkan perempuan yang cantik itu dengan gambaran yang justru sebaliknya, bertubuh gemuk atau berkulit hitam. Hal ini seolah paradoks dengan isu yang selama ini mereka usung dalam karya-karyanya. Tentang pembebasan karakter dan menjadi diri sendiri. Para penulis perempuan ini pun masih terjebak pada aturan-aturan kecantikan dan kemolekan tubuh secara menyeluruh.
Perempuan dan tubuhnya akan selalu tetap menjadi sebuah perbincangan yang panjang. Secara genealogis, pewacanaan yang diskursif akan tetap menempatkan ideologi tubuh mereka menjadi sesuatu yang akan selalu menimbulkan inspirasi juga kontreversi baik dalam lingkungan kaum laki-laki maupun kaum perempuan itu sendiri.
Yogyakarta, 3 mei 2010