Laman

Senin, 21 November 2011

masih tentang pagi yang lain

masih pagi, seharusnya sudah harus bersemangat, menikmati matahari pagi yang telah sejak sejam yang lalu membumbung di langit lepas. sudah seharusnya pula, aku berada di balkon rumah kostku membiarkan hangatnya menusuk pori-pori wajahku dan menyerap cahanyanya. bukan maksud menentang matahari, tapi cukup mengambil sedikit cahayanya.

pagi ini tampaknya lain. aku tak menemukan sensasi menikmati pagi seperti kemarin. mungkinkah karena semalam aku terlampau terlena dengan sebatang rokok yang kuhisap sembunyi-sembunyi di sudut kamarku? asap rokok itu benar-benar tak menyegarkanku, membuatku terbatuk seolah mereka berhasil menguasai paru-paruku. ahh apa jadinya jika aku benar-benar menjadi perokok? untuk yang satu ini tampaknya harus kuhilangkan, sebab aku tak menemukan sensasi yang bisa membuatku untuk terus-terusan menikmatinya. tak sedikit pun.

aku teringat satu hal, tentang seseorang yang dulu pernah mengajarkanku merokok. yah, ini bukan isapan pertamaku. dulu ketika berada di puncak gunung, dengan gigil yang menggertakkan seluruh persendianku. rasanya seperti berendam di tengah lautan es. tak membeku tapi tak juga mampu bergerak. akhirnya, ku putuskan untuk mengisap sebatang rokok bokormas yang dibelinya ketika kami masih berada di posko pertama. tetap tak kurasakan apa-apa. tak ada hangat yang mengalir bersama darahku. aku tetap terbatuk.

mungkinkah, aku akan di cap nakal jika aku merekok?  tidak, aku bukan orang yang seperti itu. bagiku, keputusan untuk mengisap sebatang racun ke tubuhku yang ku lakukan diam-diam di sudut kamarku semalam tak lain karena aku penasaran ingin mencoba rasanya. ingin membuktikan apakah aku akan semakin lancar menuliskan apa yang ada dalam kepalaku? hanya itu. alasan yang rasanya klise bagi hampir sebagian orang. aku juga tak dipengaruhi film "thankyou for smoking" yang justru diselamatkan dari kematian karena rokok.

perempuan perokok di zaman sekarang bukan lagi hal yang tabu. di sekelilingku sendiri aku tak jarang melihat anak-anak perempuan lihai menghembuskan asap membentuk bulatan-bulatan kecil serupa cincin dari mulut mereka. itu gaya hidup, tak merokok di jaman sekarang berarti tak keren [menurut anggapan sebagian orang]. tentulah slogan-slogan itu tertanam di benak mereka dengan kuat, sama kuatnya ketika tak memiliki ponsel berarti udik. freakish. aku tak ingin menyalahkan anak-anak ini.

sejak kecil mereka telah dijejali barang-barang instan, mewah dan penuh merek. orang tua tentu saja punya pengaruh besar dalam gaya hidup mereka. mereka masih anak-anak, tapi telah piawai membedakan keunggulan antara Gucci dan Nevada. seorang teman mulai mengeluhkan iklan-iklan di dinding facebooknya yang hampir penuh dengan promosi instan. mengiklankan cara mudah menjadi kaya di usia dini. berpenghasilan lebih layaknya pengusaha, atau tampil cantik dengan payudara penuh dan tubuh yang langsing. wajah yang putih. serupa bintang-bintang iklan di produk-produk mereka.

aaahhhh.... rupanya aku mulai nakal melihat sekelilingku. tidak, aku belum benar-benar menjadi nakal meski aku sebenarnya mengharapkan diriku bisa lebih nakal dari ini. tapi tidak... aku sendiri dijejali merek meski tak sebranded barang-barang mewah, atau tak kecanduan iklan cantik dan hendak merubah diriku serupa bintang-bintang iklan itu. ouh... tampaknya akan sangat sesuai jika ku katakan, bahkan aku sendiri pun yang sedikit punya pendirian akan pilihan gaya hidup yang pantas untuk usiaku, aku juga tak lepas dari merek dan barang-barang kapitalis ini. munafikkah aku? rasanya tidak... aku menggunakan barang-barang mereka untuk kembali mengkritik mereka atau bahkan sampai pada menyatakan perang  [meski belum perang yang sebenar-benarnya perang] dengan mereka. inikah negosiasinya? ku pikir bukan. lalu yang kulakukan ini akan ku sebut apa? entahlah, aku belum yakin menamainya apa, mungkin pulalah aku yang keliru menerjemahkan tanda-tanda dari mereka.

ouhhh...ini sudah terlampau ngawur, seharusnya pagi ini hanya ingin menikmatinya lagi. benar-benar menikmati pagi.... dan menyampaikan penyesalanku pada matahari sebab terlambat aku menyambut cahayanya.

Minggu, 20 November 2011

Hanya Ingin Menikmati Pagi

pagi telah meranggas pelan-pelan. matahari seperti hari-hari sebelumnya di setiap pagi akan muncul dari balik rumah bergenteng coklat lusuh itu, senada dengan warna kusen di jendelanya. rumah itu tak menghadap ke barat, tapi mungkin ke timur atau  malah ke selatan, dan tak mungkin menghadap ke utara sebab persis di bagian itu berdiri dinding yang melekat kuat. tak ada sekat. begitu rapat melekat. aku sendiri justru lebih senang membayangkannya menghadap ke timur. 

jika memang apa yang kukira benar. maka, setiap pagi pastilah rumah itu akan penuh cahaya, hingga menembus ke celah-celah terkecil di dalamnya. mungkinlah rumah itu berjendela banyak dan rerumputan hijau di sekeliling halamannya meranggas serupa pagi yang datang pelan-pelan. aahhh... aku suka rerumputan yang meranggas pelan-pelan lalu menyebar membentuk padang rumput. terkadang aku membayangkan diriku berada di rerumputan menengadah ke langit. membiarkan ujung-ujungnya menusuk tubuhku. lalu ketika hujan mulai menghujam bumi akan kurasakan mereka menyerap tetesan-tetesan kecil yang hinggap di tubuhku. membawanya ke dasar tanah yang begitu dalam lalu membaginya dengan penghuni bumi yang lain.

sudah sejak dulu, aku senang membayangkan diriku menghuni rumah itu. bangunannya yang sederhana dengan genteng-genteng lusuh kecoklatan. aku senang rumah dengan jendela yang memenuhi dinding-dindingnya lalu membiarkannya terbuka sebelum aurora benar-benar berpendar ke seantero langit, agar rumahku menjadi yang pertama disinarinya hingga ke celah-celah terkecil di dalamnya. lalu setiap pagi aku akan merelakan tubuhku basah oleh embun yang sejak dini hari mulai setia bersama rerumputan. membiarkannya menyerap hingga ke sela-sela kain dibajuku. aku hanya ingin menikmati pagi. menikmatkan tubuhku menyerap kehidupan pagi. sebelum semuanya benar-benar menghilang, membumbung ke angkasa yang akan sulit ku jangkau. meski sejenak, tapi begitu lama rasanya aku menunggu malam menggantikan pagi. sungguh memanglah teramat ku cintai pagi serupa cintaku pada hujan.

matahari menggantung persis di sisi kanan genteng rumah itu, hingga berbentuk bulatan yang kehilangan seperempat dari bagiannya. sekilas awan tipis berwarna gelap melintas perlahan meredupkan cahayanya yang sedari tadi menghangat di wajahku. semuanya serba perlahan. sangat lambat, hingga mampu ku rasakan cahaya-cahaya itu beranjak meninggalkan jejak di wajahku. aahhh, awan tipis itu menghitam. mungkinkah ia sedang membawa kabar buruk untuk seseorang? dan tak sanggup menyampaikannya. mungkinkah kabar itu tentang kesedihan sepasang kekasih yang tak kuat  menahan rindu? ah, awan tipis itu sepertinya sedang tak ingin bermain-main dengan pemilik cahaya yang dilintasinya. ia harus segera menyampaikan kabar sedih yang menyuramkan warnanya. putih.

matahari tak lagi terlihat kehilangan seperempat bagiannya. ia telah membulat serupa bulatnya pupil mata manusia. awan tipis itu pun telah beranjak menjauh. langit serupa kertas merah jingga yang begitu luas. pagi ini tentulah tak sama dengan pagi yang kemarin. bagi sepasang kekasih yang menanti kabar dari awan tipis tadi tentulah tak akan sama. kabar kesedihan yang diterimanya dari awan di pagi hari mungkin saja akan menyuramkan dunianya, serupa suramnya warna kesedihan sang pembawa kabar. gelap menggantung di setiap celahnya yang sebenarnya putih. semoga saja awan itu tak berbalik ke arahku, tak menyampaikan kabar kesedihannya untukku. sebab aku sendiri pun tengah menanti kabar dari seorang di seberang lautan sana. kemarin aku menyuratkan rindu melalui malam, mungkinkah ia akan segera membalasnya lewat awan? ahh semoga tidak... aku lebih senang ia membalas surat-surat rinduku lewat matahari pagi yang cerah, yang cahanyanya menghangat di wajahku hingga ke celah-celah hatiku. aku hanya ingin menikmati pagi, serupa menikmati balasan rinduku darinya.

Sabtu, 19 November 2011

GILA

hari ini, hari sabtu, tapi aku masih membenamkan diri di perpustakaan sibuk dengan setumpuk buku dan tulisan-tulisan orang lain [berkutat dengan teori-teori]. tidak, aku sedang tidak mengerjakan tugas kuliah yang bisa ku tunda kapan saja. ini lebih dari sekedar tugas, yang jika ku tunda-tunda lagi rasanya akan sangat berat untuk dapat memulainya kembali sementara waktu tak lagi bisa ku ajak kompromi. meski pada dasarnya Ibu-Bapakku tak begitu memberatkanku  untuk sesegera mungkin menuntaskan apa yang telah berani ku mulai, tapi rasanya akan sangat malu jika tak mampu ku tuntaskan apa yang telah ku pilih. bukan malu pada mereka ataupun orang lain. aku malu pada diriku sendiri.

sebenarnya jika menuruti hasrat lahiriahku, rasanya aku ingin saja meninggalkan segala hal yang mulai terasa membosankan ini. hidup dengan rutinitas yang itu-itu saja belakangan ini menjadikanku orang yang berbeda. rasanya aku menjadi bukan diriku. aku tak menemukan diriku yang dulu yang tak pernah berlama-lama pada keadaan. menyadari keanehan ini, aku semakin sering mendapat teguran dari diriku sendiri. tak jarang ku dapati diriku sedang beradu mulut dengan bayanganku sendiri. suaranya sangat lantang. aku seperti mendengar dua orang yang berbeda penapat. apa aku sudah gila? aaahhh entahlah, yang jelas aku sedang dilanda sindrom aneh yang aku sendiri tak tahu mau menyebutnya apa.

atau mungkin pada dasarnya aku memang berpeluang menjadi gila. aku tak yakin juga.... selama ini jika suara-suara itu yang ternyata keluar dari mulutku sendiri mulai lantang ku dengar, aku akan langsung bergegas membuka laptop lalu mulai menulis, menyambungkan rangkaian-rangkaian kata untuk menggemukkan isi tulisanku ini.

terlepas dari apa yang sedang melandaku saat ini, cikal bakal kegilaankah ataukah sisi terpendam dalam diriku yang baru hendak menampakkan keberadaannya padaku. aku ingin sesegera mungkin menyelesaikan semuanya lalu kembali ke kampung halamanku... meski akan menjadi gila, tapi akan lebih menenangkan berada dekat dengan orang yang ku cintai. 

Bella swan dalam Twilight memilih mati di pelukan kekasihnya, maka aku jika sebelum mati akan mengalami kegilaan ini pun akan memilih kesakitan ini dalam genggaman tangan kekasihku... 


Jumat, 18 November 2011

aku dan hujan

musimnya sedang tak kemarau. ini november, dan memang telah dijadwalkan turun hujan. biasanya jika penghujan datang, teman-temanku akan ramai-ramai membeli payung ataupun mantel. penjualan payung pun laku keras, model dan gambarnya bermacam-macam tergantung tema apa yang sedang tren sekarang. tapi aku bukan ingin membicarakan payung, sebab aku sendiri tak senang membawa payung ke mana-mana. aku lebih memilih bermain hujan jika sedang tak deras atau lebih baik mampir berteduh menunggu ia reda atau sampai yang tersisa hanya gerimis.

bagiku, bermain hujan justru mengasikkan... meskipun mungkin saja akan menyebabkan masuk angin, pilek, atau bahkan demam. tapi entah apa penyebab utama hingga aku begitu menyenangi hujan, bagiku ketika hujan turun, langit tengah berusaha menyampaikan sesuatu pada bumi, entah itu tentang kesedihan atau berita bahagia. dulu, ketika masih SD aku begitu bahagia jika hujan turun, sebab itu salah satu caraku untuk membuat ibu khawatir. bukan... aku sebenarnya tidak ingin benar-benar membuatnya khawatir, aku hanya senang menikmati perhatian ibu padaku dari kekhawatirannya. ibu selalu menasehatiku, jika hujan turun berarti manusia-manusia penghuni neraka sedang menangisi diri mereka... dan gemuruh adalah ratapan tangis mereka memohon ampun. tapi bagiku, cerita ibu kala itu tak sepenuhnya salah, tapi juga tak sepenuhnya benar, sebab mana mungkin orang yang sudah mati mampu menangis dan meraung sekeras itu.

ibuku mungkin tidak akan pernah tahu, betapa aku menikmati sensasi rintik-rintik yang jatuh dari langit itu menyentuh wajahku hingga mengaliri seluruh tubuhku. rasanya sungguh lain... aku memang senang bermain air, tapi tak ada yang menyamai sensasi ketika air hujan menghantam wajahku. aku senang bermain hujan. 

setelah beranjak dewasa, belakangan aku tahu, hujan tak lain dari gelembung-gelembung udara yang membuai di lautan secara terus menerus dan menyebabkan partikel-partikel air tersembur menuju langit hingga membentuk awan yang penuh dengan partikel-partikel air lalu menutupi langi. lalu angin bertugas meniupkannya hingga partikel-partikel air itu mengental dan membentuk air hujan yang menjadi lebih berat dari udara hingga ia mulai menghujani tanah. ini ku ketahui tentu saja dari pelajaran ipa yang tak terlalu ku senangi ketika smp. tapi, bukan karena proses itu yang membuatku begitu jatuh cinta pada hujan.

setiap hujan turun, aku bisa saja menikmati tetesan-tetesannya mengalir lurus di kaca jendela kamarku. atau bahkan menciumi bau tanah basah yang disisakannya. bau debu. dan ketika sedang tak berada di rumah, jika hujannya deras, aku akan mampir berteduh dan memandangi wajah-wajah yang bergegas menghindari hujan. semuanya tampak jelas memikat bagiku. aku akan sangat senang jika berteduh di tempat ramai, sebab dari sana dapat ku nikmati wajah-wajah yang beragam, pengendara motor yang hanya sekedar singgah untuk memasang mantel lalu kemudian beranjak pergi, atau perempuan yang terpaksa singgah berteduh karena lupa membawa payung.

aaahhhhh... tapi ada hal yang selalu menggangguku ketika hujan hendak menjatuhkan dirinya ke bumi, dan aku tak begitu menyukainya. langit mendung dengan awan gelap yang menggantung, rasanya sangat suram seperti membumbungkan tangis yang tertahan.

aku selalu berpikir, tak bisakah hujan turun begitu saja tanpa harus melibatkan awan gelap? tapi memang tak pernah ada hal yang tiba-tiba semuanya membutuhkan alasan untuk kemunculannya, tak juga pada hujan.


Senin, 18 Juli 2011

diam saja; sebab aku merindukan sepi

diam saja. ruang-ruang terlalu gaduh untuk kita. bahkan untuk yang kita sebut rahasia pun tak lagi dimiliki sendiri.
aaahhh.... aku mulai saja cerita kita ini sebab tak mungkin jika ku diamkan begitu saja. tapi aku tak ingin ribut-ribut ini. aku mau hanya ada kamu dan aku. kita.

hem... ternyata belum juga bisa kumulai cerita kita ini sebab sepi tak kunjung datang, bahkan hingga matahari menodai malam dengan cahaya paginya, kita masih saja tak sepi. membingungkan. yah... memang membingungkan kita ini. aku juga tak tahu persis kapan kebingungan-kebingungan ini menyerang malam-malam kita... oohhh, bukan saja malam tapi juga pagi, siang, hingga petang. kita masih selalu dalam kebingungan. tapi ini  romantis menurutku. aahhh, aku tak menggombalmu.

sebut saja aku memberi kunci pada hatiku. yah... ^^

Sabtu, 04 Juni 2011

Uang Panai dan Jebakan Gaya Hidup Konsumtif

Tradisi pernikahan pada setiap daerah di Indonesia selalu menjadi hal yang menarik untuk dibahas, tidak hanya dari latar belakang budaya pernikahan, akan tetapi dari segi kompleksitas pernikahan itu sendiri. Pada sebuah pernikahan, terdapat nilai-nilai yang menjadi pertimbangan, seperti status sosial, ekonomi, dan nilai-nilai budaya dari masing-masing keluarga laki-laki dan perempuan. Demikian halnya di Sulawesi Selatan, dalam proses pernikahan dikenal adanya istilah uang naik atau uang panai sebagai prasyarat utama dalam melangsungkan pernikahan.

Beberapa hari yang lalu, ibu saya menghadiri acara lamaran sepupu laki-laki saya. Sejak mendengar kabar pernikahan sepupu saya ini, saya menjadi penasaran berapa banyak nominal uang panai yang akan diajukan oleh pihak keluarga perempuan. Maka tak pelak lagi, saya bertanya pada ibu saya perihal nominal uang panai yang diminta pihak perempuan. Betapa terkejutnya saya, ketika mendengar jumlah nominal yang disebutkan ibu saya. Bahkan prediksi saya sendiri ternyata jauh melebihi nominal yang ibu saya sebutkan. Hebatnya lagi, keluarga besar saya pun menyanggupi jumlah tersebut.

Besar kecilnya nominal uang panai akan semakin menarik jika dapat dilihat dari refleksi budaya masyarakat modern yang sedang berjalan saat ini. Karakter dari budaya masyarakat modern selalu diikuti dengan adanya konstruksi tanda dan simbolisasi makna. Tingginya nominal uang panai sebagai simbolisasi kedudukan juga nampak pada fenomena sosial budaya masyarakat kontemporer di kota Makassar.


Tradisi
Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun temurun. Tradisi dipengaruhi oleh adanya kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan. Hal yang paling mendasar dalam sebuah tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan.

Bagi masyarakat Bugis-Makassar, pernikahan bukan sekedar mempertemukan hubungan dua insan dalam satu mahligai rumah tangga, akan tetapi lebih dari pada itu, pernikahan adalah momen mempertemukan dua keluarga besar dengan segala identitas dan status sosial serta cara melestarikan garis silsilah dan posisi di tengah masyarakat. Sadar atau tidak, hal ini adalah warisan sistem feodal di masa silam yang jejak-jejaknya masih sangat bisa ditemukan pada masa kini, khususnya pada momentum pernikahan.

Menikah atau pernikahan dalam tradisi Bugis Makassar bukanlah sesuatu hal yang murah. Dalam tradisi tersebut, dikenal adanya istilah uang panai sebagai salah satu prasyarat utama di mana calon mempelai laki-laki memberikan sejumlah uang kepada calon mempelai perempuan yang akan digunakan untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan dan belanja pernikahan. Uang panai berbeda dengan mahar, kedudukannya sebagai uang adat yang terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh kedua pihak keluarga mempelai.

Pada kenyataannya, uang panai terkenal tidak sedikit jumlahnya. Tingkat strata sosial perempuan dan jenjang pendidikan umumnya menjadi standar dalam penentuan jumlah nominal uang panai. Uang puluhan juta atau bahkan sampai pada ratusan juta menjadi nominal yang lumrah, terlebih lagi jika calon mempelai perempuan adalah keturunan darah biru (keturunan dari kerajaan Tallo, Gowa, atau Bone) ataupun tingkat pendidikan calon mempelai perempuan adalah S1, S2, Kedokteran, PNS, dst, maka uang panai_nya akan berpuluh-puluh sampai beratus-ratus juta. Semakin tinggi nominal uang panai maka semakin tinggi pula citra diri keluarga mempelai di mata masyarakat.

Lalu bagaimana dengan golongan masyarakat kurang mampu yang juga hendak melangsungkan pernikahan dengan tuntutan uang panai yang terbilang tinggi? Tidak dapat dipungkiri bahwa pihak keluarga (saudara ayah atau ibu), memiliki pengaruh yang cukup penting dalam pengambilan keputusan mengenai besarnya uang panai. Tidak jarang, banyak lamaran yang akhirnya dibatalkan, karena tidak bertemunya keinginan dua pihak.

Bagi laki-laki Bugis Makassar, memenuhi prasyarat uang panai juga dianggap sebagai praktik budaya siri. Hal ini bisa saja terungkap ketika calon mempelai laki-laki tidak mampu memenuhi permintaan pihak keluarga perempuan dan menebus rasa malu tersebut dengan merantau dan kembali setelah punya uang yang disyaratkan. Namun ironisnya, langkah terakhir yang ditempuh bagi pasangan yang telah saling mencintai adalah ‘kawin lari (silariang), sebagai jalan pintas untuk tetap bersama.

Seiring perkembangan zaman, tradisi pernikahan masyarakat Bugis Makassar pun mulai bergeser. Pernikahan yang terjadi di desa dan di kota menampilkan perbedaan yang signifikan. Jika pesta pernikahan yang berlangsung di desa masih terkesan sederhana dan merakyat, maka tradisi pesta pernikahan di kota Makassar misalnya, akan berlangsung di gedung-gedung mewah, hotel berbitang lima, dan tidak jarang mendatangkan artis lokal atau ibu kota sebagai bentuk hiburan bagi para tamu undangan. Hal ini dengan sendirinya akan berpengaruh pula pada semakin besarnya nominal uang panai terlebih jika uang panai diumumkan ke muka publik saat akad nikah. Sebuah simbolisasi yang semakin vulgar. Semua hal tersebut merujuk pada kemampuan seseorang ataupun keluarga dan penegasan status sosial dalam masyarakat.

Bergesernya tradisi uang panai dalam masyarakat Bugis Makassar menjelaskan adanya perubahan pola pikir dan gaya hidup masyarakatnya. Pergeseran nilai-nilai budaya dalam masyarakat terjadi seiring pengaruh globalisasi dan hadirnya budaya lain (baca: modern). Pada era globalisasi telah terjadi perubahan-perubahan cepat dimana dunia menjadi transparan, jarak dan waktu seakan tanpa batas. Perubahan yang mendunia ini akan menyebabkan pergeseran nilai-nilai budaya, dari nilai yang kurang baik menjadi baik ataupun sebaliknya. Salah satu aspek yang bergeser dalam kehidupan masyarakat dewasa ini adalah sistem nilai budaya yang menjadi ciri khas dari suatu kelompok masyarakat. Dengan demikian, perubahan kebudayaan terjadi akibat adanya ketidak seimbangan diantara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda, sehingga memungkinkan terjadinya keadaan yang tidak sesuai fungsinya bagi kehidupan.


Masyarakat Konsumtif
Salah satu efek dari modernisasi adalah pergeseran nilai. Hal ini bisa ditemukan dari perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Ketika ditemukan unsur baru yang menarik, maka masyarakat pun dengan perlahan tapi pasti akan mengikut pada nilai tersebut. Fenomena yang paling jelas terlihat adalah pola gaya hidup yang glamor dan konsumtif. Menjamurnya entertainment complex serta hotel-hotel mewah nan megah di kota besar adalah variabel yang turut membantu menjelaskan apa yang menjadi penyebab terjadinya perubahan sosial budaya dan tradisi masyarakat perkotaan.

Pesta yang mewah di hotel-hotel berbintang, pola konsumsi yang berlebihan, serta gaya hidup glamor adalah ciri masyarakat modern. Masyarakat modern adalah masyarakat konsumtif, yaitu masyarakat yang terus menerus berkonsumsi. Akan tetapi, konsumsi yang dilakukan bukan lagi hanya sekedar kegiatan yang berasal dari produksi. Konsumsi tidak lagi sekedar kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dan fungsional manusia. Konsumsi telah menjadi budaya, budaya konsumsi. Seiring hadirnya budaya konsumsi, maka dengan serta merta, sistem masyarakat pun telah berubah menjadi masyarakat konsumerisme. Konsumerisme dalam sejumlah literatture dimaknai ganda. Pertama, melihat konsumerisme sebagai gerakan atau kebijakan untuk melindungi konsumen dengan metode dan standar kerja produsen, penjualan, dan pengiklanan. Kedua melihat konsumerisme sebagai paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan dan kesenangan, selain sebagai sebuah prestise.

Baudrillard mengungkapkan bagaimana terbentuknya ‘masyarakat konsumen’. Komunitas masyarakat konsumen adalah masyarakat yang secara tak sadar telah menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivias atas kehidupan masyarakat dengan hasrat yang kuat akan materi, dan selalu ingin belanja. Menurutnya, dalam masyarakat konsumsi persepsi terhadap barang (komuditi) telah berubah dari sekedar kebutuhan yang memiliki nilai tukar dan nilai guna, berubah menjadi komoditas citra dan gengsi. Orang berbelanja selain karena ingin meraih kepuasan dan memenuhi kebutuhan, juga karena mengharapkan citra tersendiri karena telah memiliki barang[1]. Lebih lanjut, Baudrillard menjelaskan bahwa ketika kita mengonsumsi objek, maka kita juga mengonsumsi tanda, dan pada prosesnya kita mendefinisikan diri kita. Oleh sebab itu, kategori objek dipahami sebagai produksi kategori persona. “Melalui objek, setiap individu dan kelompok menemukan tempat masing-masing pada sebuah tatanan, semuanya berusaha mendorong tatanan ini berdasarkan garis pribadi. Melalui objek, masyarakat terstratifikasi agar setiap orang terus berada pada tempat tertentu”. Hal tersebut tentu saja memberikan penegasan bahwa masyarakat (tingkatan lebih luas) merupakan apa yang mereka konsumsi dan berbeda dari tipe masyarakat lain berdasarkan atas objek konsumsi[2] . Pola hidup glamor, budaya konsumtif yang berlebihan, sampai pada pesta pernikahan mewah di hotel-hotel berbintang, teridentifikasi sebagai pola kehidupan masyarakat modern di kota Makassar.

Kebutuhan akan gaya hidup mewah dan glamor dengan status dan kedudukan sosial dalam masyarakat di kota Makassar jelas berpengaruh pada besar kecilnya nominal uang panai yang diminta oleh keluarga dari calon mempelai perempuan. Keinginan untuk memenuhi uang panai yang disyaratkan tersebut juga terkait dengan teori kepuasan yang lebih didekatkan pada faktor-faktor kebutuhan konsumsi dan kepuasan individu. Tidak hanya itu, nilai-tanda dan nilai-simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup, kemewahan dan kehormatan adalah motif utama aktivitas konsumsi masyarakat konsumer.

Besar kecilnya nominal uang panai dalam suatu pernikahan tidak lagi menjadi sebuah tradisi pada umumnya, melainkan telah menjadi sebuah ajang tampilan gaya hidup mewah, prestise dan status sosial seseorang atau keluarga untuk mendapatkan nilai di mata masyarakat. Dalam masyarakat konsumer, konsumsi sebagai sistem pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan, namun oleh seperangkat hasrat untuk mendapatkan kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah mekanisme penandaan[3].

Untuk sebuah pesta pernikahan yang mewah dan glamor, maka nominal uang panai yang disyaratkan juga harus tinggi. Pada dasarnya, masyarakat menginginkan penilaian terhadap dirinya. Penilaian tersebut mencakup kebutuhan akan harga diri, kompetensi, penghargaan dari orang lain, prestise, kedudukan, pengakuan, martabat, dan nama baik. Pemenuhan jumlah nominal uang panai yang ditetapkan juga dianggap sebagai bentuk penghargaan yang dinilai pantas untuk kedudukan tersebut.

Masyarakat konsumer yang berkembang saat ini adalah masyarakat yang menjalankan logika sosial konsumsi di mana kegunaan dan pelayanan bukanlah motif terakhir dari tindakan konsumsi, melainkan lebih kepada produksi dan manipulasi penanda-penanda sosial. Individu menerima identitas mereka dalam hubungannya dengan orang lain, bukan dari siapa dan apa yang dilakukannya, namun dari tanda dan makna yang mereka konsumsi, miliki dan tampilkan dalam interaksi sosial. Mewahnya sebuah pesta pernikahan adalah cerminan tingginya kebutuhan konsumsi masyarakat dan tuntutan gaya hidup modern nan mewah. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan serta-merta akan berpengaruh pada besarnya nominal uang panai sebagai bentuk penanda-penanda sosial dalam masyarakat Bugis-Makassar yang bermukim di kota.

Menikahi perempuan Bugis-Makassar dikenal sangat mahal dengan nominal uang panai yang terbilang tidak sedikit jumlahnya. Acara-acara pernikahan tersebut menjadi tempat paling jelas mempertontonkan standar-standar baru bagi status sosial masyarakat Bugis-Makassar, di mana penentuan jumlah uang panai menjadi cerminan kedudukan yang dicapai oleh orang tua calon mempelai perempuan. Kondisi ini tak jarang pula melahirkan persepsi oleh sebagian orang di luar tradisi sebagai perilaku “menjual anak perempuan”. Bagi laki-laki dari daerah di luar Sulawesi yang tidak membutuhkan modal banyak untuk pernikahan, sangat wajar jika mempersepsikan uang panai sebagai harga seorang anak perempuan Makassar. Bagaimanapun, persepsi lahir dari gambaran yang bergantung dari pengalaman sebelumnya.

Ironisnya, masalah uang panai dalam masyarakat modern cenderung melahirkan penyakit masyarakat. Tidak jarang kita mendengar bagaimana sebuah keluarga menyebutkan uang panai hingga berpuluh-puluh juta atau bahkan ratusan juta rupiah, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Hal tersebut ditempuh oleh sebagian masyarakat sebagai jalan pintas untuk tetap menjaga citra di satu sisi, dan di sisi lain tidak hendak terbebani dengan biaya mahal tersebut. Penyakit masyarakat atau patologi sosial semacam ini muncul sebagai solusi dalam dinamika serta pergeseran tradisi sekaligus sebagai bentuk resistensi kultural atas tradisi yang terlanjur mengakar namun juga tidak ingin melepaskan diri dari tuntutan gaya hidup modern dan glamor hingga berdampak pada kesenjangan sosial.

Sumber terjadinya pergeseran tradisi uang panai dalam masyarakat modern disebabkan oleh faktor materil, yaitu teknologi. Akan tetapi, selain faktor materil terdapat juga fatkor non materil; nilai, ide, dan ideologi. Maksud nilai sebagai sebab yaitu merujuk pada hadirnya anggapan terhadap sesuatu yang pantas atau tidak pantas, ide merupakan pengetahuan dan kepercayaan, sedangkan ideologi merupakan serangkaian kepercayaan dan nilai yang digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi bentuk tindakan masyarakat.

Pada akhirnya, tradisi uang panai dalam masyarakat modern kota Makassar akan selalu menjadi sebuah ajang pengukuhan kedudukan dan gengsi semata. Tuntutan gaya hidup glamor dan modern menjadi pemicu yang kuat dalam penentuan besarnya jumlah uang panai. Disadari atau tidak, tidak hanya pihak keluarga calon mempelai perempuan yang akan ditinggikan derajatnya, akan tetapi keluarga calon mempelai laki-laki juga berhasil mempertegas kedudukannya dengan kemampuan memenuhi prasyarat uang panai yang jumlahnya tidak sedikit atau bahkan di atas kemampuan rata-ratanya. Hal yang menjadi pertanyaan besar kemudian adalah bagaimana seseorang laki-laki Bugis Makassar mempertahankan harga diri dengan jumlah nominal uang panai yang terbilang tidak sedikit, pilihan-pilihan yang hadir kemudian tak lain adalah bentuk-bentu pertahanan harga diri atau dikenal dengan istilah siri’.



[1] Dikutip dari: Jean Baudrillard. 2001. Galaksi Simulacra. Yogyakarta: LKIS, h. 4
[2] Baca juga George Ritzer. 2009. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana, h. 138.
[3] Jean Baudrillard, op.cit.

Senin, 02 Mei 2011

cukup mencintaiku setulus dan semampu hatimu

Tak sekalipun pernah ku minta kau membuatkanku istana atau pun seribu candi seperti para Dewa dan Pangeran di masa silam, atau memintamu meminum racun seperti yang dilakukan Romeo pada Juliet [meski Juliet tak pernah mengharap Romeo melakukannya] untuk sekedar membuktikan padaku betapa kau tulus mencintaiku.

cukup mencintaiku setulus dan semampu hatimu, bagiku itu sudah sangat berarti.

Jumat, 29 April 2011

Mengulas Pembacaan Mawar dan Penjara; sebuah kumpulan puisi Andhika Mappasomba

Seni pembacaan atau resepsi suatu karya sastra tak dinyanah dapat melahirkan berbagai tanggapan dan reaksi terhadap apa yang disugukan dalam sebuah karya sastra itu sendiri. Seorang pembaca karya sastra dengan serta merta dapat memilah kondisi dan ruang dalam sebuah kritik pembacaan terhadap karya yang dilahirkan.

Untuk memaknai sebuah teks sastra, maka terlebih dahulu haruslah dipahami tiga unsur pokok pembangun sebuah teks dalam karya sastra itu sendiri, ketiga unsur penting yang tak dapat dihilangkan adalah sisi pragmatik, di mana bahasa dipergunakan dalam suatu konteks sosial tertentu. Sisi sintaktik, yaitu sebuah teks harus memperlihatkan sebuah kebertautan satu sama lain. Dan terakhir adalah sisi kesatuan semantik, yang pada dasarnya menuntut tema global dalam sebuah teks yang melingkupi semua unsur.

Hal yang tak dapat dipisahkan pula terhadap sebuah pembacaan adalah konsep pembacaan itu sendiri. Seperti apa jenis pembaca sesungguhnya, serta pembaca hipotesis. Seorang pembaca yang sesungguhnya adalah pembaca yang muncul dalam pengkajian sejarah tanggapan, yakni ketika perhatian studi sastra dipusatkan pada cara karya sastra diterima oleh masyarakat pembaca khusus. Sedangkan pembaca hipotesis terkonstruksi dari pengetahuan sosial  dan historis suatu waktu, dan dapat diprediksi dari peran pembaca yang tersimpan di dalam teks.

Sebuah pencapaian terhadap pembacaan karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan apa yang disebut sebagai horison penerimaan, di mana menurut Segers bukan hanya berhubungan dengan aspek sastra dan estetika, tetapi juga berhubungan dengan hakikat yang ada di sekitar diri pembaca; tak lain adalah seks, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, dan agama. Ditambahkan pula oleh Jausz, bahwa horison penerimaan adalah tak lain hadir dari pengalaman pembaca, pengetahuan pembaca terhadap norma suatu genre, serta berbagai fungsi yang dikenal pembaca dalam suatu teks.

Fenomena yang terjadi dalam kumpulan puisi Mawar dan Penjara adalah sebuah interpretasi makna puitik yang hadir tanpa mengindahkan pilihan kata atau diksi dan bentuk-bentuk metafora yang ada di dalam setiap teks kumpulan puisi tersebut. Skema serta rangkaian-rangkaian peristiwa puitik dalam kumpulan puisi Mawar dan Penjara bertautan dalam implikasinya pada setiap teks yang lahir. Jika seorang pembaca mampu menangkap apa yang tersurat dalam setiap diksi dan metafora yang dihadirkan tentu dengan serta merta pula mampu memaknai segala rangkaian peristiwa puitik pengarangnya.

Eksistensi seorang Andhika Mappasomba dalam menyuguhkan teks-teksnya ke publik adalah sebuah pilihan besar yang tak biasa bagi sebagian pengarang. Tema-tema besar dan global yang diangkatnya mewakili pemaknaan teks-teks puitik terhadap implikasi sosial budaya masyarakat pembacanya. Apa yang dihadirkannya tak lain adalah segala bentuk peristiwa puitik yang membumi dalam kehidupannya. Menyaksikan sebuah kebertautan makna dalam teks-teks puisinya mengindikasi seperti apa latar kehidupan seorang Andhika Mappasomba yang coba disampaikannya ke publik dengan ranah estetik yang romantik namun tajam.

Sebuah pencapaian yang luar biasa hadir tatkala seorang pengarang mampu mengimplementasikan segala peristiwa hidupnya ke dalam bentuk dan skema puitik. Kumpulan puisi Mawar dan Penjara telah berhasil menampik pemaknaan terhadap pengarang yang mati setelah karyanya. Apa yang dihadirkan dalam kumpulan puisi Mawar dan Penjara tak lain adalah bentuk eksistensialis dan kebertahanan pengarangnya terhadap pilihan hidupnya yang melebur dalam sastra.

Sekali lagi Mawar dan Penjara berhasil memicu banyak persepsi yang hadir ke hadapan publik sebagai pembaca atau pula penikmat karya sastra

Rabu, 27 April 2011

aku + kamu = kita

kepada dirimu yang tak hanya sekedar kisah. yang ku lakukan hari ini pun juga karena kau turut di dalamnya. sebentar lagi ini tahun ketiga untuk kita; aku dan dirimu...

terkadang, jika kau terlampau jauh melangkah aku kesusahan menyamakan langkah... tapi bukannya semua hal tak harus di samakan, itu yang selalu kau jelaskan padaku jika aku mulai mengeluh...

ini untukmu Kahar Mappasomba, dengan cara berfikirmu yang berbeda dan rumit, juga dengan gaya dan segala kebiasaan unikmu. aku merindukan kau duduk di sampingku kini.

Kalian Buatku...

ketika masa-masa sibuk dan suntuk melanda, ada hal yang terkadang kita butuhkan, namun kesannya sepele...

menuntaskan prioritas memang hal yang sangat penting, tapi kita juga butuh relaksasi... salah satunya laut dan deburan ombak tempatnya....

aahhh.... jika sudah begini, rasanya kembali ingin bertemu kalian-kalian lagi. sahabat.

bunda egy sudah memiliki jingga kecil... tapi tak tau kenapa aku tiba-tiba merindukannya berada dalam kelas dan duduk dekat tempatku...

ada mbak angel yang tak bisa melihatku dari jauh jika tak berkacamata... aku ingat dia selalu ngomong "horror" atau "maringono"... hehee.. piss mbak...

uni Yetti yang sukaaa banget lagunya siti nurhalizah... kalo dah nyanyi... krisdayanti mah lewaaaatttt.... hihihi... uni kapan kau pulang?

yang satu lagi noni zilfa... aahhh fa ke kampuslah... lama kau tak ku paksa mentraktir diriku....
sejujurnya... aku merindukan kalian.... huuuuu

aahhh.... saudaraku. Perempuan-perempuanku, yang hidup dengan pilihannya masing-masing. aku tak pernah melupakan kalian. rindu itu masih tetap dan akan selalu ada. kita memulai semuanya dari kekosongan, mengisinya bersama dengan mimpi-mimpi kita... meski kita beda... tapi kita punya semangat yang sama...

aahhh... sahabat, taukah kalian bahwa kita tak pernah benar-benar terpisah jauh...

kita dan laut


seperti inilah kita: aku dan kamu membebaskan diri...
langit yang cerah dan lautan lepas. sekiranya kau berani pula membebaskan hatimu...
aaahhh... laut...

Selasa, 26 April 2011

Kisah kecil kerinduan


Kisah 1
aku ingin membicarakan rindu 
;metafor kecil yang sederhana
ketika sebuah duri menancap tepat dijantugku
dan aku tak lagi menyebut namamu saat terlelap

Kisah 2
mungkin tak lagi kutemukan akasia di matamu
pun pada mimpi-mimpi dalam lelapku
sebab kita telah terjaga
pada pagi yang basah

Kisah 3
malam itu, kita tak sedang bercanda
baiklah, kusebut kau rindu
sebut pula aku si penjaga malam
dan kau kan tahu setiap kapan kita bertemu

Kisah 4
mungkin tak pernah kau mengira
tentang rindu yang terasa main-main bagimu
maka, kupilih untuk membunuh semuanya
seperti yang kau inginkan
 
 

dini hari, 24 sept 2007

Puisi BJ Habibie untuk Almh. istrinya..

Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.

Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,
dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.

Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian
benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu
rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya,
dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.

Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,
pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,
aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.

Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah
yang menjadikan aku kekasih yang baik.

mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua,
tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga
aku mampu mencintaimu seperti ini. Selamat jalan, Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.

selamat jalan sayang,
cahaya mataku,
penyejuk jiwaku,
selamat jalan,
calon bidadari surgaku ….

BJ.HABIBIE

Kepada Waktu; ua

aku masih terlelap
ketika kau teduh mengusap ubun-ubunku
oleh tanganmu yang telah tua

waktu masih sangat sederhana
ketika ku merajuk manja di pundakmu
yang masih kokoh pada beban

hari masih seperti kemarin
ketika ku kecup lembut
keningmu yang menua

kau sedang bersujud khidmat
saat tangan-tangan kecil menarik ujung sorbanmu yang putih
menjuntai
sujud bersamamu

senyummu masih sehangat hari-hari kemarin
pada lipatan waktu yang tak sederhana
membelah takdir yang tak pernah tuntas
bermunajat tentang kasih yang kau sebut suci

lalu dengan tengadah
menghamba
menjemput masa di waktumu yang telah usai




01 des 07

MUSIM


Musim ini musim yang bisu. Setiap tikamannya menusuk diam.
Hingga mampu mematikan sukma.
Musim ini musim yang basah, sebab awan pun enggan berarak putih. Hanya kelabu.
Musim ini musim yang jenaka, robot-robot berubah badut. Manusia semakin konyol.
Musim ini musim yang lelah. Keringat mengucur jadi banjir.
Musim ini musim yang kesasar. Tak ada peta pun kompas untuk arah.
Musim ini musim menggila. Pada setiap sela mimpi pun yang ada hanya kegilaan.
Musim ini musim yang gusar. Tak banyak kata yang muncrat memuntahkan gelisah.
Musim ini musim manut. apa saja kata tuan aku ikut. tak perlu hati senang.

Ini bukan musim panen atau paceklik. Ini musim yang tak biasa. Musim yang merongrong hingga ke setiap sela di relung-relung jiwa.

Cinta tak turut musim. Ia selalu bebas melenggang kemana saja. Menjejeri seluruh hati yang kosong tapi tak hampa. Menemui manusia yang berubah batu hatinya. Melumerkannya seperti margarin.

Sebab cinta tak pernah turut musim, maka seperti musim-musim sebelumnya, kita akan selalu bercinta hingga tersungkur ke lautan gelora lalu menguap ke udara. 




10 Juni 2010

POLITIK TUBUH dan SASTRA PEREMPUAN


Kondisi realitas yang semakin berkembang pada masa ini, adalah sebagai sebuah bentuk pola pikir yang semakin meluas dan bebas. Budaya hari ini semakin menampakkan perkembangannya, terlebih pada era yang serba maju atau yang lebih sering dikenal dengan era globalisasi. Budaya konsumerisme dan masyarakat hedonisme pun semakin tak terelakkan. Iklan-iklan berpacu untuk menarik perhatian masyarakat. Tidak jarang kemudian, iklan terselip di mana-mana, media cetak, elektronik, hingga di pinggir jalan. Masyarakat yang telah sejak awal dikonstruksi oleh pikiran konsumerisme mudah sekali tergoda oleh tampilan berbagai iklan itu.

Perkembangan berikutnya adalah dimulainya budaya politik tubuh. Perempuan, biasanya, dijadikan sebagai ’alat’ penarik perhatian. Dari sana muncul juga konsep kecantikan yang “dimatematikakan”, yaitu pola atau ukuran-ukuran kemolekan tubuh. Masyarakat pun mudah sekali tergoda oleh apa yang disajikan iklan, terutama bila bintang iklannya memiliki standar kecantikan yang terbangun dalam masyarakat.

Konstruksi pemikiran yang semacam itu semakin memberikan penegasan akan adanya unsur-unsur kepentingan dengan nuansa politik yang melingkupi tuntutan hidup kaum perempuan di zaman ini. Sadar atau tidak sadar, tuntutan untuk selalu tampil cantik dan menarik di depan publik memberikan banyak pengaruh pada segala sektor, utamanya perekonomian.


Tubuh Sosial dan Tubuh Fisik

Foucault memberikan gambaran akan adanya pengaturan politik tubuh melalui tubuh fisik. Menurutnya akar kekuasaan berada pada kekuasaan atas tubuh dan menjadi berkembang di dalam setiap aktivitas mikrofisika pada setiap institusi dalam politik tubuh. Menurutnya, masyarakat pada setiap esensinya bersifat disipliner. Momen historis disiplin adalah momen ketika seni tentang tubuh manusia lahir hingga terbentuk sebuah kebijakan pemaksaan atas tubuh, sebuah manipulasi yang telah diperhitungkan atas elemen-elemen, tingkah laku dan sikap-sikap tubuh.

Tubuh-tubuh yang ditawarkan oleh media adalah tak lain dari tubuh-tubuh yang telah dibentuk sedemikian rupa untuk mewakili gambaran kecantikan, dan tubuh perempuan sebagai bahan empuk untuk dijadikan sebagai penggambaran atau yang dianggap mampu mewakili bentukan-bentukan tubuh yang telah dikonstruksi oleh media sebelumnya. Kita tidak bisa memungkiri bahwa, pasar mendikte kita tentang sebuah ukuran kecantikan dan media memandang hal ini sebagai sebuah peluang besar. Banyak masyarakat beranggapan bahwa dengan cantik dan bertubuh kurus, seorang perempuan akan terlihat menarik  dan lebih percaya diri.

Tubuh terekonstruksi secara sosial oleh masyarakat dengan bermacam cara. Masyarakat dalam hal ini dibagi menjadi beberapa populasi yang berbeda-beda. Tubuh bukan hanya telah ada secara alamiah, akan tetapi juga telah menjadi sebuah kategori sosial dengan makna yang berbeda-beda yang telah dihasilkan dan dikembangkan oleh zaman. Tubuh juga mempunyai kekuatan untuk menyerap makna, yang juga tak bisa dihindari sarat dengan nuansa politis.
           
Semakin mendalamnya makna sosial akan ukuran kecantikan pada umumnya tidak hanya mempengaruhi persepsi tubuh secara umum, akan tetapi juga merambah pada bagian-bagian tubuh itu sendiri, seperti halnya pada wajah. Pencitraan kesempurnaan terhadap mata, hidung, bibir, dan dagu merekonstruksi pikiran-pikiran manusia utamanya perempuan sebagai objek kecantikan itu sendiri. Seorang artis misalnya, yang dianggap sebagai public figur harus selalu tampil sempurna dan menarik, bahkan mereka tidak segan-segan untuk melakukan bedah pelastik sekedar menyempurnakan apa yang mereka anggap kurang di tubuhnya. Ukuran kelebihan tidak terlepas dari persepsi-persepsi yang telah tumbuh sejak jaman kolonial. Selain itu, semakin meningkatnya kebutuhan perempuan akan kosmetik dan alat-alat rias adalah sebagai sebuah bukti bahwa perempuan pada khususnya memang dituntut untuk tampil estetik dan cantik demi sebuah penampilan diri secara fisik sebagai tuntutan pada fenomena sosial yang sedang tren. Pengaruh dari tuntutan tampil cantik hampir mempengaruhi semua sektor perekonomian, baik itu di bidang industri pakaian, penataan rambut, bedah plastik, makanan, fitnes, dan tentu saja tidak terlepas pada industri media dan periklanan.

Masyarakat membangun citra terhadap perempuan-perempuan yang cantik dan jelek. Standar kecantikan seorang perempuan dengan tampilan tubuh yang kurus, kaki yang jenjang dan rambut yang lurus serta kulit yang putih akan melahirkan kesan lebih lembut, baik hati, sensitif, menyenangkan, cerdas dan berjiwa sosial jika dibandingkan dengan mereka yang dinilai jelek oleh masyarakat dengan tampilan tubuh yang gemuk, berkulit hitam dan postur tubuh yang pendek. Hal ini justru membuktikan bahwa pengaruh dari sebuah penampilan fisik sangat dominan, semakin seseorang tidak menarik semakin besar kemungkinannya ia dinilai memiliki keanehan dan sakit atau bahkan sampai pada persepsi gangguan mental.
           
Diskriminasi estetik sejajar dengan diskriminasi gender, kelas dan ras, yang menyebar begitu luas dan secara tidak sadar telah menjadi sebuah norma budaya yang diterima begitu saja seolah hal tersebut lumrah adanya. Mitos kecantikan yang tak nampak secara kasat mata telah berpengaruh pada banyaknya investasi waktu, energi, uang, dan penderitaan dalam tuntutan akan sebuah kecantikan. Perempuan lebih mementingkan kecantinkan dibanding laki-laki. Mereka yang tidak puas dengan berat badan misalnya bisa saja melakuakan operasi sedot lemak yang sekarang ini semakin marak di kalangan masyarakat hedonis hingga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut akhirnya menjadikan mereka sebagai masyarakat konsumerisme.

Begitu banyaknya aturan dan syarat-syarat untuk menjadi cantik oleh kaum perempuan secara tidak sadar menjadikan mereka merasa perlu memenuhi kebutuhan akan tuntutan-tuntutannya yang lebih dianggap sebagai sebuah kebutuhan utama untuk dapat tampil di depan publik secara lebih menarik dan estetik. Sebuah bentukan persepsi yang lahir dari kolonialisme. Sehingga ketika perempuan memilih untuk bekerja di luar rumah atau sebagai seorang wanita karir, maka pada saat yang sama pula industri diet, pelangsing tubuh, dan perawatan kulit melingkupi perempuan, tidak hanya itu, industri mode juga menampilkan para model dengan tubuh yang amat kurus. Perempuan muda adalah yang cantik dan atraktif seperti yang ditawarkan industri perawatan kulit dan dengan serta-merta menyisihkan perempuan-perempuan yang berusia lanjut sebagai hal yang alamiah dan membuat mereka sebagai sosok yang bijaksana.           


Tubuh Perempuan dalam Sastra

Jika dikaitkan dengan perkembangan kebudayaan, maka akan sangat jelas terlihat bagaimana
masyarakat menjadi sangat dipengaruhi oleh mistik kecantikan itu sendiri. Hal ini juga terjadi dalam kesusastraan Indonesia modern. Maka lahir karya-karya yang lebih banyak menggambarkan tentang perempuan dan tubuhnya.

Perempuan telah dikonstruksi oleh berbagai macam mitos yang menganggap bahwa perempuan adalah yang derajatnya lebih rendah dari laki-laki. Lebih lanjut Gadis Arifia dalam sebuah tulisannya pada jurnal perempuan  menjelaskan bahwa kedudukan penulis perempuan memang sulit. Para penulis perempuan seperti perempuan-perempuan pada umumnya telah dikonstruksi di dalam masyarakat sebagai yang ”lain” atau memiliki jenis kelamin yang ”kedua” (bukan yang diunggulkan), jenis kelamin ini telah dilabelkan lemah, tidak bisa dipercaya, perlu dilindungi, tidak mandiri, dan sebagainya. Perempuan selalu berada pada dunia kedua setelah laki-laki.

Dari tradisi Balai Pustaka hingga angkatan 80-an (yang sangat jelas bahwa tradisi ini merupakan bentukan kolonial), karya sastra lebih banyak didominasi oleh pengarang laki-laki. Dan tubuh perempuan dalam perspektif laki-laki, jelas berbeda dengan tubuh perempuan yang digambarkan oleh pengarang perempuan. Perempuan dalam karya laki-laki, cenderung sopan, manis, tunduk pada laki-laki, seseorang yang dituntut menjadi ibu rumah- tangga yang baik, namun sering pula digambarkan sebagai seseorang yang selalu menggoda kaum laki-laki. Sebuah penggambaran akan hal negatif tentang perempuan itu sendiri sebagai seorang penggoda.

Sementara itu, katakan saja pada masa Ayu Utami, dkk  (angkatan 2000-an) yang juga sebagai pencetus lahirnya sastra wangi, perempuan dalam karya sastra muncul lebih terbuka membicarakan tubuh dan pikirannya sendiri. Karya-karya penulis perempuan seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan Dinar Rahayu misalnya, secara gamblang menggambarkan perempuan sebagai kaum yang juga memiliki kebebasan, yang tidak harus terpaku pada aturan rumah tangga sebagai seorang yang harus selalu berada di bawah laki-laki, perempuan yang selalu dicitrakan menjadi orang-orang kedua setelah laki-laki.

Dampak dari kolonialisme tidak hanya pada sikap yang serba materialistik. Akan tetapi juga mulai menyebar pada hal-hal yang immaterial. Penjajahan tidak hanya terjadi pada bentuk fisik yang terlihat secara nyata, tapi juga pada penjajahan mental dan pikiran yang diwujudkan pada peguasaan identitas dan penamaan kaum yang terjajah baik di dalam sisi-sisi budaya sosial yang dibentuk sesuai dengan kepentingan kolonialisme yang secara sistematis diselipkan melalui pendidikan, sistem sosial, agama, kesenian, bahkan sampai pada gender, tradisi, seksualitas, dll.

Novel Saman karya Ayu Utami dengan sangat lugasnya menggambarkan tentang cinta dan seks, namun juga tak melepaskan diri dari penggambaran politik dan agama yang dilakoni oleh setiap tokohnya dengan sangat luwes dan bebas. Ayu sama sekali tidak mengikatkan diri pada aturan-aturan sosial yang ada. Setiap tokoh perempuan dalam novel ini sangat jelas menampakkan eksistensinya sebagai seorang perempuan yang bebas dan merdeka. Seperti halnya ia menggambarkan tokoh Shakuntala secara amat sangat bebas dan terus terang.

Poskolonial memandang hal ini sebagai sebuah bentuk persoalan-persoalan dasar seperti tradisi, relasi kuasa, gender, hingga kaum yang minoritas. Tokoh shakuntala yang berhadapan dengan keluarganya dapat dianalogikan sebagai seseorang yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan ayah dan kakak-perempuannya. Secara umum tokoh Shakuntala ini dianalogikan pula sebagai seseorang yang mewakili gambaran perempuan yang dikuasai oleh adat dan keluarganya sendiri.

Perempuan juga hadir di ruang-ruang publik yang justru tidak memerdekakannya, sehingga ia akan merasa mendapatkan kemerdekaannya ketika perempuan membebaskan dirinya dari keterkungkungan yang membelenggunya. Membebaskan diri dari segala beban dengan bebas dan leluasa. Perempuan telah harus menjadi dirinya sendiri, baik ketika ia berada di ruang pribadi masing-masing, maupun berada di ruang publik dan lingkungan sosial.

Tak jauh berbeda dengan Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu juga banyak menampilkan penggambaran tokohnya sebagai seorang perempuan yang liar, yang tidak meluluh terpaku pada aturan-aturan adat dan norma-norma kesopanan yang setiap saat harus dilakoni seorang perempuan. Djenar selalu menampakkan bahwa setiap perempuan juga seorang pribadi yang bebas dan merdeka. Pada kumpulan cerpennya sendiri, ia banyak melukiskan watak perempuan yang merdeka dan memerdekakan dirinya, Jangan Main-Main dengan Kelaminmu, adalah salah satu karya Djenar yang dengan jelas dan lugas memaparkan kebebasan tubuh dan diri perempuan.

Djenar dengan sangat terbuka mengilustrasikan kebebasannya dalam berimajinasi. Djenar tidak lagi merasa tabu untuk menampilkan kebebasannya dari segala arah. Ia tidak lagi memerlukan aturan-aturan kesopanan dalam menggambarkan segala yang ada di fikirannya. Perempuan yang merdeka dari segala fikiran dan kehidupan sosialnya.

Sejalan dengan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu juga secara spontanitas memaparkan gambaran tokoh-tokoh perempuan dalam salah satu novelnya Ode untuk Leopold Von Sacher-Masoch. Novel ini sendiri menggambarkan pengalaman-pengalaman manusia yang menunjukkan perilaku seksual seperti Sadomasochisme, pengabdian seksual, inses, dan transeksual. Dalam novel ini perempuan digambarkan sebagai monster yang kejam, ingin mendominasi, pemerkosaan serta penyiksaan sesuai dengan fantasi seksual yang liar oleh pelakunya.Tak ada kata yang tabu dan penggambaran yang secara jujur dikemukakan oleh Dinar. Seorang perempuan yang tidak lagi terikat pada aturan kesopanan yang berlaku. Bagaimana Dinar mengungkapkan secara gamblang tentang penggambarannya akan erotisme laki-laki dan perempuan.

Dari beberapa penggambaran tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra yang diwakili oleh Ayu Utami, dkk. Jelas terlihat, bahwa ada misi yang diusung oleh para pengarang perempuan ini. Mereka tidak berjuang secara nyata layaknya melawan seorang penjajah di masa peperangan terjadi ataupun dengan berkoar-koar menghujat kaum lelaki. Para penulis perempuan ini justru melakukan hal yang amat sangat luar biasa, yaitu melawan keterkungkungan dan perbedaan-perbedaan yang ada dengan memunculkan diri sebagai perempuan yang mempunyai karya. Menampilkan diri sebagai seseorang yang memiliki eksistensi dalam lingkungan sosial. Perempuan tidak hanya meluluh selalu menjadi orang yang kesekian kalinya setelah laki-laki. Penulis-penulis perempuan menjadikan isu ini sebagai suatu bentuk pembelaan serta menegaskan akan eksistensi kaum perempuan itu sendiri.

Menjamurnya karya sastra perempuan menjadi sebuah bentuk perhatian baru oleh masyarakat akan kehadiran kaum perempuan di tengah-tengah masyarakat. Dari beberapa karya-karya penulis perempuan ini pula jelas bahwa mereka hendak membongkar keterkungkungan yang dibentuk oleh kaum-kaum borjuis. Ayu Utami, dan Djenar Maesa Ayu sebagai perempuan-perempuan yang berada pada kelas menengah banyak mengetengahkan karya-karyanya pada permasalahan perempuan-perempuan kelas menengah itu sendiri. Maka tak salah jika dikatakan bahwa mereka mengkritisi apa yang terjadi pada kelas mereka sendiri, kelas-kelas borjuis. Membongkar hal-hal yang selalu dianggap tabu untuk diperbincangkan, dan karya sastra hendaknya menjadi jembatan yang secara jujur menjadi penghubung antara lingkungan dan masyarakatnya.

Ironisnya, pada sisi yang lain, ketika perempuan mulai maju dan menunjukkan eksistensinya di hadapan masyarakat utamanya dalam karya sastra, beberapa pengarang perempuan, semisal Ayu Utami sendiri masih juga terjebak pada ukuran kecantikan yang dibentuk oleh kolonial sejak dulu. Dalam karya-karyanya yang lugas dan berani Ayu Utami masih tetap saja menggunakan ukuran kecantikan pada umumnya, dengan badan yang tinggi langsing dan kulit yang putih menjadi penggambaran umum seorang perempuan. Ayu masih sangat jarang menggambarkan perempuan yang cantik itu dengan gambaran yang justru sebaliknya, bertubuh gemuk atau berkulit hitam. Hal ini seolah paradoks dengan isu yang selama ini mereka usung dalam karya-karyanya. Tentang pembebasan karakter dan menjadi diri sendiri. Para penulis perempuan ini pun masih terjebak pada aturan-aturan kecantikan dan kemolekan tubuh secara menyeluruh.

Perempuan dan tubuhnya akan selalu tetap menjadi sebuah perbincangan yang panjang. Secara genealogis, pewacanaan yang diskursif akan tetap menempatkan ideologi tubuh mereka menjadi sesuatu yang akan selalu menimbulkan inspirasi juga kontreversi baik dalam lingkungan kaum laki-laki maupun kaum perempuan itu sendiri.


 







 Yogyakarta, 3 mei 2010