Laman

Jumat, 29 April 2011

Mengulas Pembacaan Mawar dan Penjara; sebuah kumpulan puisi Andhika Mappasomba

Seni pembacaan atau resepsi suatu karya sastra tak dinyanah dapat melahirkan berbagai tanggapan dan reaksi terhadap apa yang disugukan dalam sebuah karya sastra itu sendiri. Seorang pembaca karya sastra dengan serta merta dapat memilah kondisi dan ruang dalam sebuah kritik pembacaan terhadap karya yang dilahirkan.

Untuk memaknai sebuah teks sastra, maka terlebih dahulu haruslah dipahami tiga unsur pokok pembangun sebuah teks dalam karya sastra itu sendiri, ketiga unsur penting yang tak dapat dihilangkan adalah sisi pragmatik, di mana bahasa dipergunakan dalam suatu konteks sosial tertentu. Sisi sintaktik, yaitu sebuah teks harus memperlihatkan sebuah kebertautan satu sama lain. Dan terakhir adalah sisi kesatuan semantik, yang pada dasarnya menuntut tema global dalam sebuah teks yang melingkupi semua unsur.

Hal yang tak dapat dipisahkan pula terhadap sebuah pembacaan adalah konsep pembacaan itu sendiri. Seperti apa jenis pembaca sesungguhnya, serta pembaca hipotesis. Seorang pembaca yang sesungguhnya adalah pembaca yang muncul dalam pengkajian sejarah tanggapan, yakni ketika perhatian studi sastra dipusatkan pada cara karya sastra diterima oleh masyarakat pembaca khusus. Sedangkan pembaca hipotesis terkonstruksi dari pengetahuan sosial  dan historis suatu waktu, dan dapat diprediksi dari peran pembaca yang tersimpan di dalam teks.

Sebuah pencapaian terhadap pembacaan karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan apa yang disebut sebagai horison penerimaan, di mana menurut Segers bukan hanya berhubungan dengan aspek sastra dan estetika, tetapi juga berhubungan dengan hakikat yang ada di sekitar diri pembaca; tak lain adalah seks, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, dan agama. Ditambahkan pula oleh Jausz, bahwa horison penerimaan adalah tak lain hadir dari pengalaman pembaca, pengetahuan pembaca terhadap norma suatu genre, serta berbagai fungsi yang dikenal pembaca dalam suatu teks.

Fenomena yang terjadi dalam kumpulan puisi Mawar dan Penjara adalah sebuah interpretasi makna puitik yang hadir tanpa mengindahkan pilihan kata atau diksi dan bentuk-bentuk metafora yang ada di dalam setiap teks kumpulan puisi tersebut. Skema serta rangkaian-rangkaian peristiwa puitik dalam kumpulan puisi Mawar dan Penjara bertautan dalam implikasinya pada setiap teks yang lahir. Jika seorang pembaca mampu menangkap apa yang tersurat dalam setiap diksi dan metafora yang dihadirkan tentu dengan serta merta pula mampu memaknai segala rangkaian peristiwa puitik pengarangnya.

Eksistensi seorang Andhika Mappasomba dalam menyuguhkan teks-teksnya ke publik adalah sebuah pilihan besar yang tak biasa bagi sebagian pengarang. Tema-tema besar dan global yang diangkatnya mewakili pemaknaan teks-teks puitik terhadap implikasi sosial budaya masyarakat pembacanya. Apa yang dihadirkannya tak lain adalah segala bentuk peristiwa puitik yang membumi dalam kehidupannya. Menyaksikan sebuah kebertautan makna dalam teks-teks puisinya mengindikasi seperti apa latar kehidupan seorang Andhika Mappasomba yang coba disampaikannya ke publik dengan ranah estetik yang romantik namun tajam.

Sebuah pencapaian yang luar biasa hadir tatkala seorang pengarang mampu mengimplementasikan segala peristiwa hidupnya ke dalam bentuk dan skema puitik. Kumpulan puisi Mawar dan Penjara telah berhasil menampik pemaknaan terhadap pengarang yang mati setelah karyanya. Apa yang dihadirkan dalam kumpulan puisi Mawar dan Penjara tak lain adalah bentuk eksistensialis dan kebertahanan pengarangnya terhadap pilihan hidupnya yang melebur dalam sastra.

Sekali lagi Mawar dan Penjara berhasil memicu banyak persepsi yang hadir ke hadapan publik sebagai pembaca atau pula penikmat karya sastra

Rabu, 27 April 2011

aku + kamu = kita

kepada dirimu yang tak hanya sekedar kisah. yang ku lakukan hari ini pun juga karena kau turut di dalamnya. sebentar lagi ini tahun ketiga untuk kita; aku dan dirimu...

terkadang, jika kau terlampau jauh melangkah aku kesusahan menyamakan langkah... tapi bukannya semua hal tak harus di samakan, itu yang selalu kau jelaskan padaku jika aku mulai mengeluh...

ini untukmu Kahar Mappasomba, dengan cara berfikirmu yang berbeda dan rumit, juga dengan gaya dan segala kebiasaan unikmu. aku merindukan kau duduk di sampingku kini.

Kalian Buatku...

ketika masa-masa sibuk dan suntuk melanda, ada hal yang terkadang kita butuhkan, namun kesannya sepele...

menuntaskan prioritas memang hal yang sangat penting, tapi kita juga butuh relaksasi... salah satunya laut dan deburan ombak tempatnya....

aahhh.... jika sudah begini, rasanya kembali ingin bertemu kalian-kalian lagi. sahabat.

bunda egy sudah memiliki jingga kecil... tapi tak tau kenapa aku tiba-tiba merindukannya berada dalam kelas dan duduk dekat tempatku...

ada mbak angel yang tak bisa melihatku dari jauh jika tak berkacamata... aku ingat dia selalu ngomong "horror" atau "maringono"... hehee.. piss mbak...

uni Yetti yang sukaaa banget lagunya siti nurhalizah... kalo dah nyanyi... krisdayanti mah lewaaaatttt.... hihihi... uni kapan kau pulang?

yang satu lagi noni zilfa... aahhh fa ke kampuslah... lama kau tak ku paksa mentraktir diriku....
sejujurnya... aku merindukan kalian.... huuuuu

aahhh.... saudaraku. Perempuan-perempuanku, yang hidup dengan pilihannya masing-masing. aku tak pernah melupakan kalian. rindu itu masih tetap dan akan selalu ada. kita memulai semuanya dari kekosongan, mengisinya bersama dengan mimpi-mimpi kita... meski kita beda... tapi kita punya semangat yang sama...

aahhh... sahabat, taukah kalian bahwa kita tak pernah benar-benar terpisah jauh...

kita dan laut


seperti inilah kita: aku dan kamu membebaskan diri...
langit yang cerah dan lautan lepas. sekiranya kau berani pula membebaskan hatimu...
aaahhh... laut...

Selasa, 26 April 2011

Kisah kecil kerinduan


Kisah 1
aku ingin membicarakan rindu 
;metafor kecil yang sederhana
ketika sebuah duri menancap tepat dijantugku
dan aku tak lagi menyebut namamu saat terlelap

Kisah 2
mungkin tak lagi kutemukan akasia di matamu
pun pada mimpi-mimpi dalam lelapku
sebab kita telah terjaga
pada pagi yang basah

Kisah 3
malam itu, kita tak sedang bercanda
baiklah, kusebut kau rindu
sebut pula aku si penjaga malam
dan kau kan tahu setiap kapan kita bertemu

Kisah 4
mungkin tak pernah kau mengira
tentang rindu yang terasa main-main bagimu
maka, kupilih untuk membunuh semuanya
seperti yang kau inginkan
 
 

dini hari, 24 sept 2007

Puisi BJ Habibie untuk Almh. istrinya..

Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.

Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,
dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.

Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian
benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu
rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya,
dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.

Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,
pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,
aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.

Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah
yang menjadikan aku kekasih yang baik.

mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua,
tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga
aku mampu mencintaimu seperti ini. Selamat jalan, Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.

selamat jalan sayang,
cahaya mataku,
penyejuk jiwaku,
selamat jalan,
calon bidadari surgaku ….

BJ.HABIBIE

Kepada Waktu; ua

aku masih terlelap
ketika kau teduh mengusap ubun-ubunku
oleh tanganmu yang telah tua

waktu masih sangat sederhana
ketika ku merajuk manja di pundakmu
yang masih kokoh pada beban

hari masih seperti kemarin
ketika ku kecup lembut
keningmu yang menua

kau sedang bersujud khidmat
saat tangan-tangan kecil menarik ujung sorbanmu yang putih
menjuntai
sujud bersamamu

senyummu masih sehangat hari-hari kemarin
pada lipatan waktu yang tak sederhana
membelah takdir yang tak pernah tuntas
bermunajat tentang kasih yang kau sebut suci

lalu dengan tengadah
menghamba
menjemput masa di waktumu yang telah usai




01 des 07

MUSIM


Musim ini musim yang bisu. Setiap tikamannya menusuk diam.
Hingga mampu mematikan sukma.
Musim ini musim yang basah, sebab awan pun enggan berarak putih. Hanya kelabu.
Musim ini musim yang jenaka, robot-robot berubah badut. Manusia semakin konyol.
Musim ini musim yang lelah. Keringat mengucur jadi banjir.
Musim ini musim yang kesasar. Tak ada peta pun kompas untuk arah.
Musim ini musim menggila. Pada setiap sela mimpi pun yang ada hanya kegilaan.
Musim ini musim yang gusar. Tak banyak kata yang muncrat memuntahkan gelisah.
Musim ini musim manut. apa saja kata tuan aku ikut. tak perlu hati senang.

Ini bukan musim panen atau paceklik. Ini musim yang tak biasa. Musim yang merongrong hingga ke setiap sela di relung-relung jiwa.

Cinta tak turut musim. Ia selalu bebas melenggang kemana saja. Menjejeri seluruh hati yang kosong tapi tak hampa. Menemui manusia yang berubah batu hatinya. Melumerkannya seperti margarin.

Sebab cinta tak pernah turut musim, maka seperti musim-musim sebelumnya, kita akan selalu bercinta hingga tersungkur ke lautan gelora lalu menguap ke udara. 




10 Juni 2010

POLITIK TUBUH dan SASTRA PEREMPUAN


Kondisi realitas yang semakin berkembang pada masa ini, adalah sebagai sebuah bentuk pola pikir yang semakin meluas dan bebas. Budaya hari ini semakin menampakkan perkembangannya, terlebih pada era yang serba maju atau yang lebih sering dikenal dengan era globalisasi. Budaya konsumerisme dan masyarakat hedonisme pun semakin tak terelakkan. Iklan-iklan berpacu untuk menarik perhatian masyarakat. Tidak jarang kemudian, iklan terselip di mana-mana, media cetak, elektronik, hingga di pinggir jalan. Masyarakat yang telah sejak awal dikonstruksi oleh pikiran konsumerisme mudah sekali tergoda oleh tampilan berbagai iklan itu.

Perkembangan berikutnya adalah dimulainya budaya politik tubuh. Perempuan, biasanya, dijadikan sebagai ’alat’ penarik perhatian. Dari sana muncul juga konsep kecantikan yang “dimatematikakan”, yaitu pola atau ukuran-ukuran kemolekan tubuh. Masyarakat pun mudah sekali tergoda oleh apa yang disajikan iklan, terutama bila bintang iklannya memiliki standar kecantikan yang terbangun dalam masyarakat.

Konstruksi pemikiran yang semacam itu semakin memberikan penegasan akan adanya unsur-unsur kepentingan dengan nuansa politik yang melingkupi tuntutan hidup kaum perempuan di zaman ini. Sadar atau tidak sadar, tuntutan untuk selalu tampil cantik dan menarik di depan publik memberikan banyak pengaruh pada segala sektor, utamanya perekonomian.


Tubuh Sosial dan Tubuh Fisik

Foucault memberikan gambaran akan adanya pengaturan politik tubuh melalui tubuh fisik. Menurutnya akar kekuasaan berada pada kekuasaan atas tubuh dan menjadi berkembang di dalam setiap aktivitas mikrofisika pada setiap institusi dalam politik tubuh. Menurutnya, masyarakat pada setiap esensinya bersifat disipliner. Momen historis disiplin adalah momen ketika seni tentang tubuh manusia lahir hingga terbentuk sebuah kebijakan pemaksaan atas tubuh, sebuah manipulasi yang telah diperhitungkan atas elemen-elemen, tingkah laku dan sikap-sikap tubuh.

Tubuh-tubuh yang ditawarkan oleh media adalah tak lain dari tubuh-tubuh yang telah dibentuk sedemikian rupa untuk mewakili gambaran kecantikan, dan tubuh perempuan sebagai bahan empuk untuk dijadikan sebagai penggambaran atau yang dianggap mampu mewakili bentukan-bentukan tubuh yang telah dikonstruksi oleh media sebelumnya. Kita tidak bisa memungkiri bahwa, pasar mendikte kita tentang sebuah ukuran kecantikan dan media memandang hal ini sebagai sebuah peluang besar. Banyak masyarakat beranggapan bahwa dengan cantik dan bertubuh kurus, seorang perempuan akan terlihat menarik  dan lebih percaya diri.

Tubuh terekonstruksi secara sosial oleh masyarakat dengan bermacam cara. Masyarakat dalam hal ini dibagi menjadi beberapa populasi yang berbeda-beda. Tubuh bukan hanya telah ada secara alamiah, akan tetapi juga telah menjadi sebuah kategori sosial dengan makna yang berbeda-beda yang telah dihasilkan dan dikembangkan oleh zaman. Tubuh juga mempunyai kekuatan untuk menyerap makna, yang juga tak bisa dihindari sarat dengan nuansa politis.
           
Semakin mendalamnya makna sosial akan ukuran kecantikan pada umumnya tidak hanya mempengaruhi persepsi tubuh secara umum, akan tetapi juga merambah pada bagian-bagian tubuh itu sendiri, seperti halnya pada wajah. Pencitraan kesempurnaan terhadap mata, hidung, bibir, dan dagu merekonstruksi pikiran-pikiran manusia utamanya perempuan sebagai objek kecantikan itu sendiri. Seorang artis misalnya, yang dianggap sebagai public figur harus selalu tampil sempurna dan menarik, bahkan mereka tidak segan-segan untuk melakukan bedah pelastik sekedar menyempurnakan apa yang mereka anggap kurang di tubuhnya. Ukuran kelebihan tidak terlepas dari persepsi-persepsi yang telah tumbuh sejak jaman kolonial. Selain itu, semakin meningkatnya kebutuhan perempuan akan kosmetik dan alat-alat rias adalah sebagai sebuah bukti bahwa perempuan pada khususnya memang dituntut untuk tampil estetik dan cantik demi sebuah penampilan diri secara fisik sebagai tuntutan pada fenomena sosial yang sedang tren. Pengaruh dari tuntutan tampil cantik hampir mempengaruhi semua sektor perekonomian, baik itu di bidang industri pakaian, penataan rambut, bedah plastik, makanan, fitnes, dan tentu saja tidak terlepas pada industri media dan periklanan.

Masyarakat membangun citra terhadap perempuan-perempuan yang cantik dan jelek. Standar kecantikan seorang perempuan dengan tampilan tubuh yang kurus, kaki yang jenjang dan rambut yang lurus serta kulit yang putih akan melahirkan kesan lebih lembut, baik hati, sensitif, menyenangkan, cerdas dan berjiwa sosial jika dibandingkan dengan mereka yang dinilai jelek oleh masyarakat dengan tampilan tubuh yang gemuk, berkulit hitam dan postur tubuh yang pendek. Hal ini justru membuktikan bahwa pengaruh dari sebuah penampilan fisik sangat dominan, semakin seseorang tidak menarik semakin besar kemungkinannya ia dinilai memiliki keanehan dan sakit atau bahkan sampai pada persepsi gangguan mental.
           
Diskriminasi estetik sejajar dengan diskriminasi gender, kelas dan ras, yang menyebar begitu luas dan secara tidak sadar telah menjadi sebuah norma budaya yang diterima begitu saja seolah hal tersebut lumrah adanya. Mitos kecantikan yang tak nampak secara kasat mata telah berpengaruh pada banyaknya investasi waktu, energi, uang, dan penderitaan dalam tuntutan akan sebuah kecantikan. Perempuan lebih mementingkan kecantinkan dibanding laki-laki. Mereka yang tidak puas dengan berat badan misalnya bisa saja melakuakan operasi sedot lemak yang sekarang ini semakin marak di kalangan masyarakat hedonis hingga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut akhirnya menjadikan mereka sebagai masyarakat konsumerisme.

Begitu banyaknya aturan dan syarat-syarat untuk menjadi cantik oleh kaum perempuan secara tidak sadar menjadikan mereka merasa perlu memenuhi kebutuhan akan tuntutan-tuntutannya yang lebih dianggap sebagai sebuah kebutuhan utama untuk dapat tampil di depan publik secara lebih menarik dan estetik. Sebuah bentukan persepsi yang lahir dari kolonialisme. Sehingga ketika perempuan memilih untuk bekerja di luar rumah atau sebagai seorang wanita karir, maka pada saat yang sama pula industri diet, pelangsing tubuh, dan perawatan kulit melingkupi perempuan, tidak hanya itu, industri mode juga menampilkan para model dengan tubuh yang amat kurus. Perempuan muda adalah yang cantik dan atraktif seperti yang ditawarkan industri perawatan kulit dan dengan serta-merta menyisihkan perempuan-perempuan yang berusia lanjut sebagai hal yang alamiah dan membuat mereka sebagai sosok yang bijaksana.           


Tubuh Perempuan dalam Sastra

Jika dikaitkan dengan perkembangan kebudayaan, maka akan sangat jelas terlihat bagaimana
masyarakat menjadi sangat dipengaruhi oleh mistik kecantikan itu sendiri. Hal ini juga terjadi dalam kesusastraan Indonesia modern. Maka lahir karya-karya yang lebih banyak menggambarkan tentang perempuan dan tubuhnya.

Perempuan telah dikonstruksi oleh berbagai macam mitos yang menganggap bahwa perempuan adalah yang derajatnya lebih rendah dari laki-laki. Lebih lanjut Gadis Arifia dalam sebuah tulisannya pada jurnal perempuan  menjelaskan bahwa kedudukan penulis perempuan memang sulit. Para penulis perempuan seperti perempuan-perempuan pada umumnya telah dikonstruksi di dalam masyarakat sebagai yang ”lain” atau memiliki jenis kelamin yang ”kedua” (bukan yang diunggulkan), jenis kelamin ini telah dilabelkan lemah, tidak bisa dipercaya, perlu dilindungi, tidak mandiri, dan sebagainya. Perempuan selalu berada pada dunia kedua setelah laki-laki.

Dari tradisi Balai Pustaka hingga angkatan 80-an (yang sangat jelas bahwa tradisi ini merupakan bentukan kolonial), karya sastra lebih banyak didominasi oleh pengarang laki-laki. Dan tubuh perempuan dalam perspektif laki-laki, jelas berbeda dengan tubuh perempuan yang digambarkan oleh pengarang perempuan. Perempuan dalam karya laki-laki, cenderung sopan, manis, tunduk pada laki-laki, seseorang yang dituntut menjadi ibu rumah- tangga yang baik, namun sering pula digambarkan sebagai seseorang yang selalu menggoda kaum laki-laki. Sebuah penggambaran akan hal negatif tentang perempuan itu sendiri sebagai seorang penggoda.

Sementara itu, katakan saja pada masa Ayu Utami, dkk  (angkatan 2000-an) yang juga sebagai pencetus lahirnya sastra wangi, perempuan dalam karya sastra muncul lebih terbuka membicarakan tubuh dan pikirannya sendiri. Karya-karya penulis perempuan seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan Dinar Rahayu misalnya, secara gamblang menggambarkan perempuan sebagai kaum yang juga memiliki kebebasan, yang tidak harus terpaku pada aturan rumah tangga sebagai seorang yang harus selalu berada di bawah laki-laki, perempuan yang selalu dicitrakan menjadi orang-orang kedua setelah laki-laki.

Dampak dari kolonialisme tidak hanya pada sikap yang serba materialistik. Akan tetapi juga mulai menyebar pada hal-hal yang immaterial. Penjajahan tidak hanya terjadi pada bentuk fisik yang terlihat secara nyata, tapi juga pada penjajahan mental dan pikiran yang diwujudkan pada peguasaan identitas dan penamaan kaum yang terjajah baik di dalam sisi-sisi budaya sosial yang dibentuk sesuai dengan kepentingan kolonialisme yang secara sistematis diselipkan melalui pendidikan, sistem sosial, agama, kesenian, bahkan sampai pada gender, tradisi, seksualitas, dll.

Novel Saman karya Ayu Utami dengan sangat lugasnya menggambarkan tentang cinta dan seks, namun juga tak melepaskan diri dari penggambaran politik dan agama yang dilakoni oleh setiap tokohnya dengan sangat luwes dan bebas. Ayu sama sekali tidak mengikatkan diri pada aturan-aturan sosial yang ada. Setiap tokoh perempuan dalam novel ini sangat jelas menampakkan eksistensinya sebagai seorang perempuan yang bebas dan merdeka. Seperti halnya ia menggambarkan tokoh Shakuntala secara amat sangat bebas dan terus terang.

Poskolonial memandang hal ini sebagai sebuah bentuk persoalan-persoalan dasar seperti tradisi, relasi kuasa, gender, hingga kaum yang minoritas. Tokoh shakuntala yang berhadapan dengan keluarganya dapat dianalogikan sebagai seseorang yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan ayah dan kakak-perempuannya. Secara umum tokoh Shakuntala ini dianalogikan pula sebagai seseorang yang mewakili gambaran perempuan yang dikuasai oleh adat dan keluarganya sendiri.

Perempuan juga hadir di ruang-ruang publik yang justru tidak memerdekakannya, sehingga ia akan merasa mendapatkan kemerdekaannya ketika perempuan membebaskan dirinya dari keterkungkungan yang membelenggunya. Membebaskan diri dari segala beban dengan bebas dan leluasa. Perempuan telah harus menjadi dirinya sendiri, baik ketika ia berada di ruang pribadi masing-masing, maupun berada di ruang publik dan lingkungan sosial.

Tak jauh berbeda dengan Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu juga banyak menampilkan penggambaran tokohnya sebagai seorang perempuan yang liar, yang tidak meluluh terpaku pada aturan-aturan adat dan norma-norma kesopanan yang setiap saat harus dilakoni seorang perempuan. Djenar selalu menampakkan bahwa setiap perempuan juga seorang pribadi yang bebas dan merdeka. Pada kumpulan cerpennya sendiri, ia banyak melukiskan watak perempuan yang merdeka dan memerdekakan dirinya, Jangan Main-Main dengan Kelaminmu, adalah salah satu karya Djenar yang dengan jelas dan lugas memaparkan kebebasan tubuh dan diri perempuan.

Djenar dengan sangat terbuka mengilustrasikan kebebasannya dalam berimajinasi. Djenar tidak lagi merasa tabu untuk menampilkan kebebasannya dari segala arah. Ia tidak lagi memerlukan aturan-aturan kesopanan dalam menggambarkan segala yang ada di fikirannya. Perempuan yang merdeka dari segala fikiran dan kehidupan sosialnya.

Sejalan dengan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu juga secara spontanitas memaparkan gambaran tokoh-tokoh perempuan dalam salah satu novelnya Ode untuk Leopold Von Sacher-Masoch. Novel ini sendiri menggambarkan pengalaman-pengalaman manusia yang menunjukkan perilaku seksual seperti Sadomasochisme, pengabdian seksual, inses, dan transeksual. Dalam novel ini perempuan digambarkan sebagai monster yang kejam, ingin mendominasi, pemerkosaan serta penyiksaan sesuai dengan fantasi seksual yang liar oleh pelakunya.Tak ada kata yang tabu dan penggambaran yang secara jujur dikemukakan oleh Dinar. Seorang perempuan yang tidak lagi terikat pada aturan kesopanan yang berlaku. Bagaimana Dinar mengungkapkan secara gamblang tentang penggambarannya akan erotisme laki-laki dan perempuan.

Dari beberapa penggambaran tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra yang diwakili oleh Ayu Utami, dkk. Jelas terlihat, bahwa ada misi yang diusung oleh para pengarang perempuan ini. Mereka tidak berjuang secara nyata layaknya melawan seorang penjajah di masa peperangan terjadi ataupun dengan berkoar-koar menghujat kaum lelaki. Para penulis perempuan ini justru melakukan hal yang amat sangat luar biasa, yaitu melawan keterkungkungan dan perbedaan-perbedaan yang ada dengan memunculkan diri sebagai perempuan yang mempunyai karya. Menampilkan diri sebagai seseorang yang memiliki eksistensi dalam lingkungan sosial. Perempuan tidak hanya meluluh selalu menjadi orang yang kesekian kalinya setelah laki-laki. Penulis-penulis perempuan menjadikan isu ini sebagai suatu bentuk pembelaan serta menegaskan akan eksistensi kaum perempuan itu sendiri.

Menjamurnya karya sastra perempuan menjadi sebuah bentuk perhatian baru oleh masyarakat akan kehadiran kaum perempuan di tengah-tengah masyarakat. Dari beberapa karya-karya penulis perempuan ini pula jelas bahwa mereka hendak membongkar keterkungkungan yang dibentuk oleh kaum-kaum borjuis. Ayu Utami, dan Djenar Maesa Ayu sebagai perempuan-perempuan yang berada pada kelas menengah banyak mengetengahkan karya-karyanya pada permasalahan perempuan-perempuan kelas menengah itu sendiri. Maka tak salah jika dikatakan bahwa mereka mengkritisi apa yang terjadi pada kelas mereka sendiri, kelas-kelas borjuis. Membongkar hal-hal yang selalu dianggap tabu untuk diperbincangkan, dan karya sastra hendaknya menjadi jembatan yang secara jujur menjadi penghubung antara lingkungan dan masyarakatnya.

Ironisnya, pada sisi yang lain, ketika perempuan mulai maju dan menunjukkan eksistensinya di hadapan masyarakat utamanya dalam karya sastra, beberapa pengarang perempuan, semisal Ayu Utami sendiri masih juga terjebak pada ukuran kecantikan yang dibentuk oleh kolonial sejak dulu. Dalam karya-karyanya yang lugas dan berani Ayu Utami masih tetap saja menggunakan ukuran kecantikan pada umumnya, dengan badan yang tinggi langsing dan kulit yang putih menjadi penggambaran umum seorang perempuan. Ayu masih sangat jarang menggambarkan perempuan yang cantik itu dengan gambaran yang justru sebaliknya, bertubuh gemuk atau berkulit hitam. Hal ini seolah paradoks dengan isu yang selama ini mereka usung dalam karya-karyanya. Tentang pembebasan karakter dan menjadi diri sendiri. Para penulis perempuan ini pun masih terjebak pada aturan-aturan kecantikan dan kemolekan tubuh secara menyeluruh.

Perempuan dan tubuhnya akan selalu tetap menjadi sebuah perbincangan yang panjang. Secara genealogis, pewacanaan yang diskursif akan tetap menempatkan ideologi tubuh mereka menjadi sesuatu yang akan selalu menimbulkan inspirasi juga kontreversi baik dalam lingkungan kaum laki-laki maupun kaum perempuan itu sendiri.


 







 Yogyakarta, 3 mei 2010

Senin, 25 April 2011

dan hujan pun reda

Apakah yang disisakan hujan selain tanah yang basah dan becek? Adakah setiap wangi yang merebak ke angkasa juga semerajanya rasa? Tak ada seorang pun yang mungkin bisa menerkanya.

Dan hujan pun reda. Dedaunan meranggas dari reranting yang basah. Bangau putih berjingkrak-jingkrak menggoyangkan buih yang ditinggalkan hujan. Basah. Ada cahaya menyingkap langit yang semula gelap. Aroma tanah yang basah masih sangat tajam menusuk ke penciuman lalu masuk merangsek dalam setiap sum-sum. Hujan telah berlalu. Yang ditinggalkannya adalah tanah yang basah dan wanginya yang khas. Pepohon pun hanya sedikit dilambai angin. Bunga-bunga kini kembali ranum, mereka seolah baru saja bermandi gelora. Hujan menitipkan cinta dari setiap rerintiknya yang jernih. Saatnya bagi kumbang-kumbang jantan menyerap sari putik-putik mawar. Lalu ketika rerintik kecil kembali hadir cerita kembali meraja. Hanya sekilas lalu pergi menyapa waktu yang lain di seberang dunia. Mungkin pula pada kekasih yang merindu.


selalu banyak cerita yang ditinggalkan hujan.

27 April 2010

Saya dan diri saya

Tulisan ini lahir ketika saya berada di dalam bus jalur 7 menuju pulang setelah hampir setengah hari ini berada di kampus. Pada dasarnya, ini hanya sebatas percakapan saya dengan diri saya sendiri di bus tadi siang, sebab hampir pasti cuaca Jogja yang tak menentu menghadirkan kegerahan tersendiri dalam diri saya, dan untuk tak larut dari kegerahan yang akan berdampak panjang dan melanda diri dan semangat saya nantinya. Maka, seperti kebiasaan-kebiasaan saya ketika sedang tak bersama teman-teman, saya pun mulai mengajak diri saya untuk sekedar bertukar pikiran, tentunya kali ini sangat sedikit saya melibatkan perasaan.

Saya masih sangat mengingat jelas, ketika tadi siang saya berada di ruangan kerja pembimbing saya. Tempatnya nyaman dan sejuk [tentu ini karena ada AC] terlebih lagi, lelaki yang menjaga dan selalu mengingatkan jadwal kerja pembimbing saya itu, sangatlah bersahabat dan juga lumayan cakep [kalau yang satu ini dari perspektif saya sendiri]. Saya dan teman-teman memanggilnya mas Zemi, meskipun saya sendiri tak tahu siapa nama lengkapnya. Tapi seperti kata mbah Shakespeare [sang penulis kisah cinta abadi nan tragis “Romeo and Juliet”, “Hamlet” dan masih banyak lagi karya yang apabila dituliskan pada catatan ini akan menjadi tak berkesudahan] “apalah arti sebuah nama” maka itu pun tak terlalu menjadi penting bagi saya.

Saya lanjutkan cerita saya yang sedikit nyeleneh atau bahkan mungkin terkesan narsis. Awalnya, saya tak berencana menemui beliau [pembimbing saya] secara langsung. Sebab tak bisa saya pungkiri, saya selalu grogi dan tidak percaya diri jika hendak bertemu beliau. Bukan karena ada apa-apa, tapi saya selalu merasa sungkan dan terkadang kebingungan memulai percakapan saya dengan beliau. Padahal jika bersama teman-teman saya, hampir pasti saya sangat cerewet minta ampun. Ini mungkin karena saya merasa kepribadian saya yang awut-awutan akan tampak oleh beliau. Ahh… saya memang terlampau tak percaya diri jika berhadapan dengan beliau. Tapi saya senang memiliki pembimbing seperti beliau; cerdas, anggun, dan yah… beliau selalu mampu menjadi “right man in the right place” [tentu ini pun murni persepsi saya].

Akhirnya, mas Zemi dengan gaya sok imutnya yang bersahabat mempersilahkan saya untuk bertemu langsung dengan beliau. Ahh, sebelum bertemu beliau yah ngaca dulu… hehehe. Memasuki ruangan beliau, grogi itu semakin dugdug ser tapi untungnya, saya disambut dengan senyum sumringah nan hangat oleh beliau. Pembicaraan kami pun tak lepas dari keluh kesah pada penelitian saya. Dan tersampaikanlah apa yang selama ini memandekkan langkah saya menyelesaikan proposal penelitian saya. Saya, sedang terkena sindrom dimusuhi oleh buku juga belum menemukan kata rujuk dengan tulisan. Dan lagi-lagi beliau tersenyum geli mendengar ungkapan saya.

Katanya, buku itu adalah makhluk paling menyenangkan dan makanan paling nikmat jika saya mampu berdamai dengan buku dan tulisan-tulisan itu. Tak perlu meluangkan waktu sehari penuh jika memang tak mampu, cukup sisakan lima menit dalam sehari untuk menjenguk tulisan-tulisan dan buku-buku yang sangat pasti akan menyelamatkan saya dalam ujian nanti, ah tapi tidak hanya ketika ujian... menggandeng gelar pun itu; baik ia S1, S2, S3, Prof, Guru Besar dan segala macam gelar lainnya, jika tak mampu bersahabat dan menikmati lezatnya buku dan tulisan-tulisan maka semuanya hanya akan menjadi sia-sia. Buntut-buntutnya akan malu sendiri jika tak mampu menyelesaikan kerumitan dan masalah-masalah dimana kita dianggap ahli di dalamnya. Hem… saya tiba-tiba teringat kata-kata ini “bahwa takdir abadi setiap pelajar dan pendidik tak lain adalah takdir intelektual itu sendiri” [saya lupa siapa pemilik kata-kata ini].

Lagi-lagi saya mempercayai satu hal, “bahwa setiap kata itu mengandung sebuah semangat nah tergantung kita_nya mau mempergunakan apa semangat itu” [kalau yang ini sih, murni kata-kata saya]. Dan benar saja, meskipun saya harus mengganti lagi teori penelitian saya, tapi saya tetap bersemangat untuk sesegara mungkin menyelesaikan apa yang menjadi kewajiban saya selama kuliah. Tentunya, ini adalah salah satu kewajiban-kewajiban saya yang lain yang hampir pasti dan harus saya laksanakan sesegera mungkin.

Hem… awan berarak mengangkasa, sedikit tersapu angin dan mengintiplah langit biru yang cerah. Tepat di gang VIDI 3 saya pun turun dari bus jalur 7 yang membawa saya dan percakapan nakal saya dengan diri saya. Langit benar-benar cerah ketika itu, meskipun selalu ada awan gelap yang membayang menggantung di langit Jogja. Tapi paling tidak suntikan semangat itu saat ini memang sangat saya perlukan. Walhasil… sepanjang jalan menuju kosan saya di gang anggur, saya tersenyum bahagia dengan segala bayangan-bayangan narsis menemani saya.




Kamar saya, 4 april 2011

Hujan


Adalah hujan; setelah gerimis kita kembali meniti cahaya
pada jalan setapak memerah meninggalkan jejak
dongeng kecil kerinduan yang membisiki kita menjelang petang
pada reranting yang tak lagi berdaun

Bumi yang basah telah menceritai kita
tentang kelelawar yang girang mengejar buih
pada dinginnya hari yang sendiri
pula kita yang masih saja renyah mengulas alur
seolah irama yang mesra diusia tujuhbelasan

adalah hujan; rintih membelah fajar berganti embun
lalu merekah
santun berlantun doa-doa munajat
baru, gairah dari malam yang telah basah
 
[30,2007]